Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ismail Marzuki, "Bing Crosby" dari Betawi

Kompas.com - 02/08/2017, 17:29 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Kontroversi mewarnai juga jejak rekam Ismail. Misalnya, lagu Halo-halo Bandung yang disebut Presiden Soekarno sebagai karyanya padahal diduga bukan.

Terlepas dari sekelumit kontroversi tersebut, kepiawaian Ismail dengan lagu dan alat musik mendapat banyak pengakuan. Kenangan atasnya melintasi zaman.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968 menetapkan nama Ismail untuk pusat kesenian, yang sampai sekarang masih ada di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yaitu Taman Ismail Marzuki.

Edisi 106 Majalah Rolling Stone yang terbit pada Februari 2014, sampai menempatkan sosok ini sebagai pemuncak di daftar 100 Pencipta Lagu Indonesia Terbaik.

Lalu, Penerbit Buku Kompas pada tahun yang sama menerbitkan buku “Seabad Ismail Marzuki, Senandung Melintas Zaman” karya Ninok Leksono.

Satu dekade sebelumnya, pada 2004, Ismail pun ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 089/TK/TH.2004 tertanggal 5 November 2004.

Rizal memberi catatan, sosok Ismail sebagai pahlawan nasional harus diakui kerap terasa dikecilkan. “Terlebih lagi, dia dianggap bukan musisi sekolahan. Baca partitur saja tidak bisa,” ujar Rizal.

Orang lupa, lanjut Rizal, banyak tokoh pejuang dan pendiri bangsa yang juga tak mengenyam pendidikan tinggi. Banyak orang tak tahu juga, tutur Rizal, lagu Indonesia Pusaka besutan Ismail pernah hampir dipilih untuk menggantikan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Buat generasi sekarang, pilihan Ismail mogok kerja tanpa gaji dari Radio Republik Indonesia ketika Belanda menduduki kembali Indonesia, bisa jadi bahkan dianggap tak masuk akal.

Toh, kesusahan hidup dan kondisi kesehatannya yang memburuk tak lalu membuat Ismail membuat lagu bernuansa gelap. Lagu gubahan terakhirnya saja berjudul "Inikah Bahagia".

Terkait dengan bulan kemerdekaan, Rizal berpendapat, sosok Ismail saat ini menjadi punya makna penting tersendiri, sebagai pengingat kepada masa-masa revolusi kemerdekaan dan semangat nasionalisme.

“Dia itu ibarat 'souvenir' dari masa revolusi, sesuatu yang harus didapatkan ketika mengenang masa perjuangan kemerdekaan,” ujar dia.

Meski begitu, Rizal mengingatkan, nasionalisme yang dibutuhkan saat ini tidak bisa begitu saja dapat disamakan dengan situasi pada perjuangan kemerdekaan.

Soal tak bertambahnya koleksi lagu-lagu wajib nasional yang membekas dalam lagi, menurut dia juga bukan persoalan yang harus terlalu dikhawatirkan.

“Puncak nasionalisme waktu itu ya proklamasi kemerdekaan. Tantangan kita sekarang adalah mencari bentuk baru yang pas untuk masa kekinian. Itu yang dulu juga dicari Soekarno dengan berbagai doktrinnya tapi belum juga ketemu,” ujar Rizal.

Mungkin menyimak lagi lagu-lagu Ismail yang bertutur soal keelokan Indonesia dan kebanggaan atasnya, tetap bisa jadi cara sih. Siapa tahu, dari situ ada inspirasi buat kita buat merumuskan “wajah baru” nasionalisme yang lebih kekinian dan berkemajuan.

Kalau Raisa kepada Presiden Joko Widodo berharap bisa menjadi penyanyi kelas dunia meski tetap berdomisili di Indonesia, misalnya, maka sosok, kiprah, dan karya Ismail semestinya bisa langsung jadi rujukan dan inspirasi. Tak ada larangan juga buat bidang lain.

Semoga....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com