KOMPAS.com - Perjalanan bangsa ini sudah cukup panjang, bahkan jauh sebelum tahun 1945. Flag off ekspedisi kebangsaan kita, bisa jadi, sudah diawali oleh Mahapatih Gadjah Mada yang dengan Sumpah Palapa bercita-cita menyatukan Nusantara.
Gadjah Mada memang tidak menggunakan nama Indonesia. Tapi, jiwa kebangsaan sudah diusungnya dengan kata Nusantara.
Lalu, gelombang kedua ekspedisi berlanjut pada 1908, yaitu saat para pelajar Stovia dengan lantang menyerukan bahwa perjuangan fisik harus disertai dengan perjuangan pemikiran.
Pada momentum itu Budi Oetomo lahir dengan tag line kebangkitan nasional yang berlandaskan budi yang utama, yakni nilai-nilai, perilaku dan budi pekerti.
Dus, Semua ekspedisi tersebut kemudian dirangkum oleh Soekarno dan Hatta dalam naskah proklamasi. Proklamasi menjadi jangkar bagi semua ekspedisi ratusan tahun sebelumnya dan menjadi titik tolak perjalanan bangsa ke depannya, di tanah harapan bernama NKRI.
Mengapa Proklamasi?
Hanya 29 kata yang ada dalam teks proklamasi. Namun, 29 kata tersebut sangat powerfull menyiratkan sebuah determinasi, keberanian, kecermatan, dan ketaktisan.
Keberanian menyatakan kedaulatan bukanlah hal mudah. Namun, itulah yang dilakukan oleh para bapak bangsa yang lugas tanpa bertele-tele.
Itulah kiranya resultante dan titik kulminasi perjuangan dan pengorbanan selama ratusan tahun. Bisa dikatakan, 29 kata tersebut telah membangkitkan kesadaran bahwa inilah saatnya kita menentukan nasib dan langkah kita sendiri secara bersama-sama. Inilah kesadaran berbangsa.
Amerika Serikat menggunakan kata Declaration of Independence. Pun, Malaysia memakai istilah deklarasi pada saat handover dari Inggris.
Dalam bahasa latin, kata proclamare mengandung makna 'teriakan keras". Di dalamnya terdapat unsur gairah, agresifitas, dan semangat, tidak seperti deklarasi yang lebih bermakna sebuah pernyataan.
Proklamasi yang dilakukan duet "founding fathers" itu adalah jawaban dari hasrat dan jeritan ratusan tahun dari Aceh sampai Banda Neira. Proklamasi menyatukan hasrat merdeka dari Cut Nya Dien, hasrat kebebasan Kartini, dan hasrat mendobrak para pemuda di Kramat Raya 106 pada 28 Oktober 1928. Proklamasi adalah bersatu padunya jiwa dan raga bangsa ini.
Nurani kebangsaan
Namun, setelah 72 tahun, mari kita tafakur sejenak. Berapa banyak rakyat yang masih dizolimi oleh keadilan? Berapa banyak anak muda yang mati bukan di medan pertempuran dengan di merah putih di dada, namun mati sia-sia dengan suntikan di tangan?
Tidakkah hati kita hancur mengetahui bahwa tingkat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di Indonesia sudah sangat memilukan? Bahkan, Indonesia ditasbihkan sebagai negara teratas dalam urusan transaksi narkotika di kawasan ASEAN (sumber: Badan Narkotika Nasional, 2015).