Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

72 Tahun Kemerdekaan dan Hilangnya Nurani Kebangsaan

Kompas.com - 17/08/2017, 11:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

Maka, mari kita berdiam diri dan bertafakur. Betapa rindunya kita kepada kepada Bung Hatta, yang terpaksa hanya makan roti keras bercampur keju di penjara di negeri penjajah, namun dengan gigih dia tetap menulis pledoi vrij Indonesie dan mengirim pesan kebangsaan ke Tanah air. Di sisi lain, mirisnya, kini kita melihat para badut politik sibuk mencari panggung di berbagai media.

Betapa rindunya kita kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sang panglima tentara nasional, yang dengan napas tersengal akibat panyakit parunya, harus ditandu ke luar masuk hutan untuk memimpin gerilya paling patriotik dalam sejarah negeri ini. Sementara kini, kini kita disuguhkan tontonan segala kepongahan para pemimpin dan wakil rakyat di berbagai media, yang dengan sadar membohongi sekaligus membodohi rakyatnya.

Tidak rindukah kita dengan sosok Mar’ie Muhammad dan Baharudin Lopa, terutama ketika kita menyaksikan makin banyaknya pejabat negara yang memakai "rompi oranye" dengan tetap tersenyum keluar-masuk gedung KPK?

Tak rindukah kita, ketika saat ini kejujuran justru dianggap suatu kenaifan, dan sebaliknya kebohongan serta kecurangan adalah suatu keniscayaan?

Betapa rindunya kita kepada Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra yang dengan rupa dan kulit berbeda melantangkan Sumpah Pemuda yang menggelegar itu, ketika kini kita lebih sering mendengar hujatan dan cercaan penuh kebencian kepada sesama pemuda.

Betapa rindunya kita kepada Sutan Syahrir, sang demokrat sejati, yang rela tersingkirkan, sementara kini dengan miris kita melihat negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini menggadaikan demokrasi di lobi-lobi politik dan forum-forum kepentingan.

Mari kita bertafakur! Mengapa kini kita lebih senang untuk saling tuding dan hujat, saling curiga, saling menghakimi, dan saling hantam? Ke mana perginya nilai-nilai musyawarah dan mufakat, di mana nilai-nilai tepa salira, apa kabar prinsip rawe rawe rantas malang-malang putung, dan ke mana larinya semangat Ampera yang dulu menggetarkan itu, ke mana perginya ikrar kebhinekaan, ke mana semangat juang ala arek-arek Suroboyo, ke mana teriakan merdeka ataoe mati?

Mari kita diam dan bertafakur. Mengapa kini kita menjadi bangsa yang pucat, kering kerontang, kurang gizi, seperti tidak berjiwa? Kaya raga, namun miskin jiwa. Kita bukan hanya kehilangan jiwa kebangsaan, tapi juga sudah kehilangan nurani kebangsaan! Inilah kita sekarang...

Nurani "generasi emas"

Semua bangsa dijalankan oleh-Nya. Seperti halnya Nabi Ibrahim dan Musa yang menuju tanah harapan, kita pun "diperjalankan" oleh yang Maha Kuasa. Telah sampaikah kita kepada tanah yang dijanjikan itu?

Dalam setiap pendakian ke puncak gunung , sebaiknya kita tidak perlu membawa bekal yang terlalu banyak, cukup air putih, pisang dan sebatang coklat. Tak perlu membawa kepentingan golongan, ras dan agama. Kita hanya perlu membawa amanat penderitaan rakyat, Pancasila dan semangat kebangsaan.

Ya, di dalamnya sudah terdapat nutrisi lengkap yang akan membawa kita berlari dan melesat menuju puncak, dan menancapkan bendera sebagai menjadi bangsa yang sejahtera, unggul dan bermartabat.

Kini, 28 tahun menjelang peringatan 100 tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, ada baiknya kita pupuk dan hidupkan lagi nurani kebangsaan sebagai bekal yang dulu diberikan oleh nenek moyang kita kepada jiwa generasi penerusnya. Karena merekalah yang akan duduk di cokpit pesawat pada tahun emas kita.

Tanpa itu, puncak bonus demografi di 2030 dengan kurang lebih 70 juta jumlah penduduk produktif hanya akan menjadi mannequin cantik dengan make up tebal dan senyum artifisial, namun "mati"! Kita akan menjadi bangsa yang kering kerontang, dan terengah-engah mencapai cita-cita proklamasi yang semakin kabur dari pandangan.

Itulah karenanya, pendidikan menjadi sentral, bukan hanya pendidikan berbasis kognitif, namun juga pendidikan kebangsaan. Pendidikan yang dapat membangkitkan, menanamkan , menginfiltrasikan rasa, kecintaan dan kebanggaan pada negeri.

Pendidikan kita bukanlah pendidikan yang tidak mematikan nurani. Pendidikan yang  mengedepankan nilai, bukan yang hanya pendidikan mengejar keberhasilan fisik dan materi.

Pendidikan yang memastikan bahwa tolak ukur keberhasilannya bukan hanya dari jumlah sarjana, atau doktor. Keberhasilannya adalah jika suatu saat Komisi Anti-Korupsi dibubarkan, karena negara ini tidak membutuhkannya lagi, jika kita telah berdaulat penuh terhadap ikan-ikan di lautan kita dan berdaulat penuh terhadap garis pantai terpanjang di dunia yang kita miliki, jika Tanjung Priok dapat menjadi pelabuhan terbesar, termodern dan terefisien di dunia,mengalahkan Rotterdam dan Singapura.

Kita butuh bendidikan yang memastikan bahwa di setiap jiwa anak didiknya terdengar sayup namun pasti, suara kecil yang berbisik: Indonesia!

Selamat memaknai Hari Kemerdekaan. Dirgahayu Nusantara, Dirgahayu Indonesia!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com