Lebih jauh lagi saat pidato pada rapat besar gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), September 1943 Ki Hajar dengan berapi-api mengatakan bahwa pendidikan Eropa itu baik adanya namun “Sangat mengabaikan kecerdasan budi-pekerti sehingga menimbulkan penyakit intellektualisme yakni mendewakan angan-angan, semangat mendewakan angan-angan itu menimbulkan kemurkaan-diri atau individualisme dan kemurkaan-benda atau materialisme, itulah yang menyebabkan hancurnya ketentraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat!”
Pendidikan Dikhianati
Oleh karena itu Ki Hajar tidak mengambil mentah-mentah sistem pendidikan barat, namun mensinergikannya dengan kekayaan budaya nasional dan pendidikan spiritual.
Agaknya pendapat Ki Hajar ini masih relevan hingga saat ini, setidaknya menurut saya. Pendidikan "dikhianati" tujuannya bukan untuk membuka batin (rasa-spiritual), memerdekakan pikiran (cipta) dan membangun kemandirian (karsa). Tapi justru untuk menceburkan diri pada materialisme, sekolah supaya dapat kerja, kerja jadi pegawai, entah negeri atau swasta.
Jadi pegawai mengejar karir supaya dapat duit banyak, punya rumah besar (materi/benda), punya mobil (materi), bisa beli iphone (materi), tas bermerk (materi), jam tangan Fossil (materi), sepatu Nike atau Adidas (materi), bisa liburan ke luar negeri dan foto-foto (ketenaran), kalau perlu rumah, tanah dan mobil lebih dari satu atau sebanyak-banyaknya (materi lagi).
Ki Hajar tidak mengatakan bahwa memiliki materi, benda-benda kebutuhan sehari-hari itu salah, yang disalahkan beliau adalah kerakusan, rakus ingin memiliki lebih dari yang dibutuhkan, kalau perlu dengan berhutang (lagi-lagi materi).
Sampai detik ini definisi “sukses” masih seperti itu bagi sebagian besar orang Indonesia. Apa namanya itu kalau bukan materialisme? Mungkin pada titik Nietszche benar bahwa Tuhan telah mati “dibunuh”. Atau kalau terlalu ekstrem, Tuhan dikerdilkan dalam tembok-tembok rumah ibadah, rapalan-rapalan doa, dan pelajaran agama. Tuhan diusir dalam pelajaran Fisika, Matematika, Biologi, Geografi, Sosiologi, Olahraga dan hampir semua materi yang diajarkan di sekolah.
Jadi menurut saya, meski dalam artikel-artikelnya Ki Hajar mengagumi sekaligus mengkritik Montessori, yang dalam hal ini waktu itu sebagai wakil dari sistem pendidikan barat secara umum. Ki Hajar sebenarnya sedang melakukan kritik terhadap pendidikan barat secara keseluruhan.
Ironisnya, justru model pendidikan semacam demikian yang saat ini sedang naik daun. Sekolah berlomba-lomba mendapatkan sertifikasi “Cambridge” atau berlabel internasional dan semacamnya untuk menarik para orangtua bahwa institusinya “berkualitas”. Apalagi ada upaya pemerintah untuk menerapkan sistem “student loan” atau “sekolah dengan hutang” seperti yang berlaku di Amerika dan terbukti membelenggu lulusannya dengan hutang seumur hidup.
Sekolah bukan lagi tempat menyenangkan untuk menciptakan masyarakat yang damai (Shanti Niketan), tapi menjadi bagian dari mesin perusahaan-perusahaan besar yang rakus mencari uang sebanyak-banyaknya (What?!, materi lagi)…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.