Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Kritik Ki Hajar Dewantara Terhadap Sistem Pendidikan Barat

Kompas.com - 09/04/2018, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa waktu yang lalu istri saya sedang ngobrol di salah satu grup media sosial, salah satu temannya saat diskusi mempromosikan “sekolah Montessori”. Mungkin kita sudah sama-sama tahu, banyak sekali PAUD, TK, ataupun SD yang berlabel “Montessori”.

Montessori diambil dari nama seorang ahli pendidikan dari seorang ahli pendidikan Italia bernama Dr. Maria Tecla Artemisia Montessori (1870-1952). Dia yang mengembangkan metode pendidikan sesuai namanya, metode Montessori. Menurut teman istri saya, Ki Hajar saja muridnya Montessori. Apakah benar demikian?

Pada 1922, Soewardi Soerjaningrat resmi banting setir dari aktivis politik menjadi aktivis pendidikan dan kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Soewardi sendiri mulai tertarik dan belajar mengenai sistem pendidikan kolonial ketika dibuang ke negeri Belanda pada 1913. Ketika di Belanda dia memperoleh ijazah guru dan mengambil bagian dalam suatu diskusi pada Kongres Pendidikan Kolonial, disana pertama kali dia mengusulkan pendidikan nasional bagi orang-orang Indonesia.

Setelah kembali ke Hindia Belanda pada 1919, sebagai pengelola majalah Persatuan Hindia, dan sebagai sekretaris National Indische Partij (NIP), versi baru dari Indische Partij masih menulis artikel-artikel politik yang radikal dan provokatif menyerang pemerintah.

Karena nggak kapok-kapok, akhirnya Soewardi di tangkap lagi, dipenjarakan plus dihukum kerja paksa pada 1920, bukan hanya itu NIP juga dilarang dan dibubarkan ada 1922. Pada tahun yang sama Soewardi, atau sekarang Ki Hajar dibebaskan dan mendirikan Sekolah Taman Siswa.

Mungkin dia melihat bahwa perlawanan non-kooperatif yang frontal di bawah represi Gubernur Jenderal  Johan Paul van Limburg Stirum, yang kemudian diganti oleh Dirk Fock pada 1921 tidak terlalu efektif, dan dia mencari cara perlawanan yang lain, yaitu melalui pendidikan.

Sejak didirikan, Sekolah Taman Siswa menolak keras uang bantuan pemerintah, sehingga tidak bisa dengan mudah disetir oleh pemerintah. Sejak itu artikel-artikelnya yang tersebar di berbagai media mulai menyoroti masalah pendidikan. Dari sana kita bisa tahu pendidikan seperti apa yang dibangun oleh Bapak Pendidikan Nasional kita ini.

Ki Hajar, dalam artikelnya pada majalah “Pusara” jilid XI, nomor 8 tahun 1941 mengatakan bahwa memang banyak orang ketika itu mengira bahwa pendidikan di Taman Siswa semata-mata aliran Tagore – Montessori.

Memang benar bahwa Dr Rabindranath Tagore, tokoh nasional dan tokoh pendidikan dari India, pendiri sekolah Shanti Niketan dan orang asia penerima nobel sastra pertama itu pernah berkunjung ke pusat perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada 1927, begitu pula Maria Montessori disebutkan juga sempat berkunjung pada 1941. Pun foto keduanya pernah terpampang di pendapa dan sekolah Taman Siswa yang pertama.

Ki Hajar mengatakan, “Sebenarnya kita menggantungkan potret dari kedua pemimpin itu tidak lain karena kedua-duanya kita anggap sebagai penunjuk jalan baru, Montessori dan Tagore ialah pembongkar dunia pendidikan lama serta pembangun aliran baru.”

Namun demikian justru disini Ki Hajar mengagumi keduanya sekaligus melakukan kritik pada keduanya untuk saling melengkapi dan dijadikan fondasi sistem pendidikan Taman Siswa pada waktu itu yang disebut harus mengikuti perkembangan jaman modern namun juga harus “kulturil-nasional” yaitu tidak boleh meninggalkan adat budaya baik yang sudah ada dan masih hidup dalam masyarakat.

Perbedaan antara sistem Montessori dan Tagore itu terletak pada tujuannya. Montessori sangat mementingkan hidup jasmani anak-anak, terutama untuk menstimulasi dan mengoptimalkan perkembangan kognitif dan panca-inderanya.

Menurut Ki Hajar, metode pendidikan Montessori tidak menyentuh perkembangan batin anak-anak, yang dimaksud batin di sini adalah mengajarkan anak untuk mengenal pencipta-Nya dan kata Ki Hajar “semata-mata bersifat psikologis, jauh dari tujuan religius.”

Sementara Dr. Tagore membentuk sistem pendidikan anak semata-mata sebagai alat dan syarat untuk memperkokoh kehidupan kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu religiusitas. Namun demikian kurang menekankan masalah-masalah kognitif dan psikologis.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau