Pada tanggal 17 September 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi
Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief).
Pengaruh politik etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang istrinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri, surat-surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Abendanon juga menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah.
Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866.
Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan (Toer, 2003) :
“Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, ya bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra-putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang.”
Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda.
Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda ; P.A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.