Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eva Kusuma Sundari
Ketua Kaukus Pancasila

Ketua Kaukus Pancasila, Koordinator Institut Sarinah

Pendidikan Multikultural untuk Pembumian Pancasila

Kompas.com - 02/05/2018, 07:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengajaran multikultural ini bisa dilakukan oleh sekolah yang homogen siswanya seperti Ponpes maupun Kanisius, ataupun sekolah Islam tapi dengan siswa campuran seperti SMA Al Ihzar, Pondok Labu Jakarta.

Namun, multikultural bisa juga diadopsi sebagai metodologi misalnya oleh sekolah-sekolah yang sengaja merekrut siswa lintas agama, golongan, ras seperti Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM) Medan dan SMK Bakti Karya Parigi di Pangandaran.

Di sekolah YPISM yang digagas oleh politisi PDI Perjuangan, Sofyan Tan membangun empat rumah ibadah untuk empat agama. Dampaknya positif, ada siswa muslim yang mendesainkan kartu Paskah untuk temannya yang Katholik atau ada siswa Tionghoa beragama Buddha yang sering mengingatkan agar teman Muslim-nya tidak lupa shalat. Pergaulan siswa kaya-miskin, beda ras suku dan agama berlangsung nyaman tanpa sekat.

Sekolah multikultural juga efektif menjawab kebutuhan untuk penyembuhan trauma para siswa pasca-konflik agama. SMAN Siwalima di Ambon mengharuskan siswa berbagi kamar dengan siswa yang beda agama atau asal daerah. Perayaan agama disiapkan oleh siswa  yang berbeda agama, bahkan lagu kristiani dimainkan dengan rebana karena mereka punya motto "One for All, All for One".

Pengajaran multikultural juga berlangsung di ponpes Al Muttaqin Pancasila Sakti di Klaten dengan membangun kesadaran santri tentang Indonesia yang plural. Selain mengajarkan syariah, ponpes tersebut juga menyelenggarakan upacara bendera dan menyanyikan Indonesia Raya. Bahkan, Pancasila sering dibacakan bersama-sama seusai mengaji agama.

Para siswa sekolah-sekolah multikultural di atas tidak saja merasakan perubahan personal (IQ, EQ, SQ) tetapi juga kecerdasan kelompok, publik, ataupun masyarakat. Persatuan dan gotong royong bisa diwujudkan karena ada syarat-syarat yang terpenuhi, yaitu toleransi, tenggang rasa, saling hormat sebagai wujud saling menerima, dan memberi berdasar prinsip kesetaraan dalam kebhinekaan.

Menyebarkan roh inklusifisme Pancasila bisa dimulai dengan upaya inklusif yang mudah dan sederhana. Empat belas SMA Al Izhar dan Kanisius bersama membentuk kelompok RagaMuda dan kampanye Plural-is-Me di sosial media. Sambutan hangat, kampanye toleransi yang semula untuk DKI pasca-pilkada disambut netizen seluruh Nusantara.

Pengalaman penyelenggaraan pendidikan multikultural dari 12 sekolah yang telah dibukukan sekaligus dipergelarkan di MPR tersebut diharapkan mampu menginspirasi sekolah-sekolah lainnya untuk melakukan hal yang sama. Momentum telah tiba karena sejatinya Kurikulum 2013 adalah bertujuan sama, yaitu Pembentukan Karakter berdasar Pancasila.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com