KOMPAS.com - Tujuh puluh tiga tahun sudah kita mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Sebuah pondasi visioner yang sesungguhnya telah dipancangkan para founding fathers untuk membangun sebuah negara merdeka bernama Indonesia.
Kini, setelah 73 tahun berlalu sejak dasar negara itu diakui kelahirannya pada 1 Juni 1945, sudahkah Pancasila menjadi bagian dari kehidupan kita dalam bernegara dan berbangsa?
Inilah pertanyaan fundamental yang layak untuk dipertanyakan ulang ketika kita semua hendak merayakan hari kelahiran Pancasila pada tahun ini.
Namun, sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kalau kita berkaca terlebih dahulu terhadap dua permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. Persoalan krusial yang pertama itu adalah pemberantasan korupsi.
Berdasarkan data indeks persepsi korupsi pada 2017 yang dirilis Transparency International pada awal tahun ini menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang diteliti. Dari skala 0-100, Indonesia memiliki nilai indeks persepsi korupsi sebesar 37.
Dalam skala penilaian itu dijelaskan nilai 0 mengandung arti sangat korup dan nilai 100 memiliki indeks persepsi paling bersih. Merujuk skala yang ditunjukkan Transparency International tadi, maka Indonesia tergolong sebagai negara yang masih belum serius dalam memberantas korupsi.
Temuan Transparency International itu diperkuat juga oleh fakta yang diungkap oleh lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam dua tahun terakhir ini memperlihatkan adanya tren peningkatan korupsi.
Sepanjang 2017 tercatat ada 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Setahun sebelumnya, kerugian negara yang diakibatkan dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. (Republika.co.id, 2018).
Selain persoalan korupsi, Indonesia juga menghadapi masalah ketimpangan ekonomi. Hasil kajian World Happiness Report 2018 yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia ditempatkan di peringkat ke-62 negara paling timpang di dunia, dengan indeks gini sebesar 0,395.
Data ketimpangan itu makin mencolok ketika menyitir hasil riset International Forum on Indonesian Development (Infid). Riset tersebut mengungkap fakta bahwa kekayaan 1 persen penduduk di Indonesia itu setara dengan 45 kekayaan nasional. Artinya, jika populasi penduduk di Tanah Air diasumsikan mencapai 261 juta, maka penduduk terkaya itu mencapai 261.000 pada 2017. (Bisnis.com, 2018)
"Semua buat semua"
Dua masalah besar inilah yang tentunya sangat mengganggu rasa keadilan dan kebersamaan kita sebagai warga negara Indonesia. Bukankah Pancasila yang disampaikan Soekarno pada pidato di sidang BPUPKI 73 tahun silam itu secara tegas menyatakan bahwa, "Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”.
Dalam menafsirkan pendapat Bung Karno itu negara seharusnya berperan sentral untuk menghadirkan kebersamaan "semua buat semua" tersebut. Dua masalah besar yang telah disajikan di awal tulisan ini, sesungguhnya telah memperlihatkan ketidakmampuan pengelola negara untuk mewujudkan mimpi besar si Bung Besar Soekarno.
Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan "semua buat semua" ketika uang negara yang harusnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan atau perbaikan taraf hidup masyarakat bangsa ini ternyata disalahgunakan untuk kepentingan kelompok maupun golongan tertentu saja?
Atau, sungguh sulit pula membayangkan terjadinya pemerataan ketika segelintir orang justru bisa mengendalikan pergerakan ekonomi di negeri ini?