BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Bina Nusantara

Belajar dari "Drone", Desain Produk Fungsional Itu Tak Hanya "Compact"

Kompas.com - 24/07/2018, 09:20 WIB
Mikhael Gewati,
Dimas Wahyu

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masih ingat dengan berita di televisi mengenai pantauan arus mudik dari atas udara pada satu atau dua dekade lalu? Reporter dan kamerawan waktu itu biasanya mengambil gambar dari dalam helikopter untuk mengabadikan kepadatan arus mudik dari atas udara.

Itu dahulu, tetapi kini sudah tidak lagi. Kemajuan teknologi telah membuat media elektronik menggunakan drone berkamera, yaitu pesawat kecil ringan berkamera yang bisa dikendalikan jarak jauh lewat controller khusus atau smartphone.

Di awal kemunculannya, drone untuk kebutuhan sinematografi masih besar dan berat. Kini, seiring kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar, drone pun telah berbentuk ringkas dan berbobot ringan.

Sebut contohnya Mavic Pro. Drone produksi perusahaan China, Dà-Jiang Innovations (DJI), itu menjadi drone yang compact atau ringkas karena hanya berukuran tinggi 83 milimeter (mm), lebar 83 mm, dan panjang 198 mm, dengan berat 734 gram.

Keempat baling-baling beserta tempat penyangga atau kakinya juga bisa dilipat tanpa menyisakan banyak ruang kosong. Ini terjadi karena DJI sudah mendesain bodi drone senada dengan keempat kaki baling-balingnya.

Jadi, ketika keempat kaki drone dilipat, bagian ini akan menjadi satu kesatuan dengan bodi Movic Pro. Alhasil, bentuk drone menjadi ramping dan ringkas sehingga mudah untuk dibawa traveling atau bepergian.

Adapun material bodi dan kaki baling-baling terbuat dari plastik sehingga bobotnya ringan. Sementara itu, di bagian bawah drone terdapat heat sink atau tempat pembuangan udara panas mesin yang terbuat dari perpaduan magnesium dan aluminium sehingga tahan panas.

Baik aluminium plus magnesium maupun plastik adalah bahan ringan dan aman. Artinya, ketika drone mengalami masalah saat terbang, misalnya jatuh atau menabrak makhluk hidup, setidaknya dampaknya bisa diminimalkan.

Berkat desainnya yang compact dan artistik tersebut, Mavic Pro kemudian keluar sebagai pemenang desain produk Red Dot Award 2017. Red Dot Award adalah ajang penghargaan desain dan komunikasi produk bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh Design Zentrum Nordrhein Westfalen.

Drone DJI Mavic Pro memenangkan product design reddot award 2017www.red-dot.org Drone DJI Mavic Pro memenangkan product design reddot award 2017
Desain saja tak cukup

Keberhasilan DJI dalam menghadirkan produk seperti Mavic Pro tidaklah datang dengan serta-merta. Sejak produk pertama yang dirilis pada 2013 dengan nama Phantom, DJI terus berinovasi sehingga bisa menghasilkan produk seperti itu.

Tentu, dalam inovasi, peran tenaga ahli yang mendesain drone memegang peranan penting atas keberhasilan produk tersebut. Tak hanya drone, hal ini berlaku pula pada keberhasilan inovasi produk-produk di industri lainnya.

Terlebih lagi, mendesain produk di dalam dunia industri merupakan sesuatu yang bersifat holistik. Pertimbangannya bukan hanya estetika atau seni, melainkan juga seperti apakah hasil akhir dari produk yang diinginkan industri dan seperti apa pasarnya.

Hal ini diamini Khristian EN Soebandrija. Salah satu dosen di Program Product Design Engineering Binus ASO ini mengatakan, dalam mendesain produk, berbagai aspek harus dipertimbangkan, seperti engineering atau teknik, material, serta kebutuhan atau selera konsumen.

"Jangan lupa juga, dalam mendesain produk, keuntungan juga harus diperhitungkan. Apakah desain tersebut bisa menghasilkan keuntungan bagi stake holder atau perusahaan yang menjualnya," kata Khristian kepada Kompas.com, Jumat (8/6/2018) di Kampus Binus ASO, Alam Sutera, Tangerang.

Maka dari itu, orang yang berprofesi dalam bidang desain produk tak cukup hanya mengandalkan keahlian seni, tetapi wajib pula membekali diri dengan kemampuan engineering. Ini penting agar desain yang mereka hasilkan tak hanya indah, tetapi juga fungsional.

Dengan begitu, produk yang dihasilkan bisa secara fungsional memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar masyarakat. Hal ini tak ubahnya Mavic Pro yang membuat drone menjadi alat ringkas sehingga bisa dibawa traveling oleh masyarakat ketika liburan.

Tak hanya drone, masih banyak produk lain bersifat kebutuhan sehari-hari yang merupakan hasil kolaborasi dari ilmu desain dan teknik atau product design engineering (PDE).

Ice cube tray Joseph Joseph QuickSnap dibuat berdasarkan product design engineering (PDE)Youtube/Ocado.com Ice cube tray Joseph Joseph QuickSnap dibuat berdasarkan product design engineering (PDE)
Contohnya ice cube tray Joseph Joseph QuickSnap. Wadah es batu ini sudah dibuat berdasarkan PDE sehingga lentur dan memudahkan pengguna untuk mengeluarkan es dari wadahnya.

Kelenturan tercipta karena material wadah berasal dari perpaduan plastik jenis polypropylene (PP), thermoplastic rubber (TPR), dan polyethylene (PE).

Di bagian bawah tiap-tiap wadah itu terdapat tombol untuk memudahkan penggunanya saat mengeluarkan es. Jadi, tinggal geser tombol sesuai petunjuk arah, maka es batu akan terlepas dari wadahnya.

Kekurangan tenaga ahli

Tentu untuk bisa menghasilkan produk-produk fungsional seperti itu, baik industri maupun perusahaan pada khususnya membutuhkan tenaga ahli yang mumpuni di bidang PDE.

Hal ini pun berlaku pada industri di dalam negeri. Namun sayangnya, Indonesia sendiri kekurangan tenaga ahli yang punya kemampuan di bidang tersebut.

Kondisi ini setidaknya bisa terlihat dari jumlah insinyur yang ada di negeri ini. Kenapa insinyur? Ini karena PDE adalah cabang ilmu yang berasal dari fakultas teknik industri.

Seperti diberitakan Kompas, Rabu (18/5/2016), dari sekitar 800.000 lulusan insinyur di Indonesia, hanya 45 persen yang bekerja sesuai bidangnya. Tak hanya itu, Indonesia pun kekurangan sekitar 10.000 insinyur per tahun.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Universitas Bina Nusantara (Binus) sejak tahun 2014 telah menghadirkan Binus ASO School of Engineering (BASE). BASE adalah program kerja sama antara ASO College, salah satu sekolah robotik terkemuka di Jepang, dan Binus.

Adapun salah satu program atau jurusan yang ada di sekolah tersebut adalah Product Design Engineering (PDE). Melalui program ini, mahasiswa diajarkan untuk punya kemampuan seimbang antara desain dan teknik.

"Untuk membuat anak-anak punya kemampuan seimbang seperti itu, maka setiap semester selalu ada tugas proyek yang disesuaikan dengan kurikulum. Kami juga punya waktu-waktu khusus di kelas yang disebut independence class," kata Head of Program PDE Binus ASO Gatot Suharjanto, Jumat (8/6/2018).

Independence class adalah waktu bebas di kelas yang harus digunakan anak didik dengan bertanggung jawab. Dengan demikian, kata Gatot, mahasiswa diberi kesempatan untuk menggali kemampuannya karena pada saat itulah mereka bisa berdiskusi tentang tugas proyek dengan rekan-rekannya.

Mereka juga bisa saling belajar dengan teman-temannya sehingga masing-masing individu bisa mengetahui apa kekurangannya dan belajar bagaimana caranya untuk memperbaikinya.

Lebih dari itu, menurut Gatot, independence class juga bisa menjadi tempat untuk mengasah kemampuan soft skills mahasiswa dalam hal komunikasi, manajemen waktu, kepemimpinan, saling menghargai, dan bekerja sama.

Mahasiswa Binus ASO School Of Engineering melakukan summer course ke JepangDok Binus ASO School Of Engineering (base.binus.ac.id) Mahasiswa Binus ASO School Of Engineering melakukan summer course ke Jepang

Untuk memberikan pengalaman industri profesional kelas dunia kepada anak didiknya, kampus ini juga punya program summer course ke Jepang. Mahasiswa akan belajar intens selama sebulan—setara dengan satu semester perkuliahan—di ASO International House di Fukuoka, Jepang.

Tak hanya belajar, mereka pun akan mengunjungi beberapa kawasan industri, seperti Toyota Kyushu atau pabrik Miyata, untuk mempelajari filosofi Lexus dalam menjaga kualitas mobil produksinya.

"Jadi, mahasiswa diberikan pengalaman langsung di luar secara internasional sehingga mereka bisa memahami industri di Jepang yang selalu disiplin," kata Gatot.

Bagi lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang ingin kuliah di sana, kampus ini juga punya jalur pendaftaran beasiswa atau scholarship.

Untuk mengikutinya, mereka diharuskan punya nilai rata-rata rapor minimal 75 tiap semester di SMA serta lulus tes masuk Binus ASO yang terdiri dari tes penelusuran bakat dan minat serta TOEFL.

Diharapkan, melalui program Product Design Engineering (PDE) Binus ASO ini, akan lahir tenaga ahli lokal yang andal dalam bidang PDE. Dengan demikian, industri di dalam negeri akan banyak melahirkan produk-produk fungsional yang membuat hidup masyarakat menjadi lebih efisien.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com