Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Sekolah Dasar, Tempat Penitipan Atau Tempat Belajar ?

Kompas.com - 30/07/2018, 10:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tahun ini anak pertama saya masuk kelas 1 sekolah dasar (SD). Saya dan istri sengaja memilih sekolah inklusi. Sederhananya, sekolah inklusi yaitu sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus, dijadikan satu kelas dengan anak-anak lain.

Mereka diberikan kesempatan sama untuk belajar, sebaliknya anak-anak lain diberikan kesempatan membantu sesama memiliki kebutuhan khusus.

Kami berharap, anak-anak bersekolah tidak hanya supaya unggul secara kognitif, tapi juga afektif dan sosial. Kebetulan saya pernah hampir 1 tahun melakukan pendampingan anak berkebutuhan khusus, juga di sebuah sekolah inklusi.

Trisentra Ki Hadjar Dewantara

Setelah hampir 2 minggu masuk, Sabtu minggu lalu orangtua siswa diundang ke sekolah berkenalan dengan guru-guru dan mendengarkan penjelasan sekolah mengenai rencana pembelajaran selama kelas satu.

Momen ini sudah kami tunggu sejak pertama masuk sekolah. Kami ingin tahu lebih jauh mengenai strategi sekolah mendidik anak-anak, bagaimana metode pengajaran, dan terutama, apakah visi dan misi sekolah tergambar di dalamnya.

Kami juga ingin tahu bagaimana implementasi Kurikulum 2013 (K13) yang beberapa waktu menjadi perbincangan seru.

Dibuka oleh kepala sekolah yang masih muda (masih di bawah 40 tahun), forum “sosialisasi” ini berlangsung hangat. Guru-guru rata-rata usianya di bawah 35 tahun. Kami pun merasa ayem, lega, setidaknya untuk saat ini.

Kepala sekolah dan guru sama-sama menyampaikan strategi pembelajaran disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Seorang guru juga mengatakan bahwa proses pendidikan tidak bisa hanya dilakukan di sekolah bersama guru, tapi juga di rumah bersama orangtua.

Keduanya, guru dan orangtua, harus memperhatikan interaksi anak dengan teman sebaya.

Konsep ini, lingkungan sekolah (alam-perguruan), lingkungan di rumah (alam-keluarga), dan lingkungan sebaya (alam-pergaulan) merupakan perwujudan sistem trisentra yang digaungkan Ki Hajar Dewantara.

Tugas guru dan orangtua

Oleh karena sebagai orangtua kita memiliki tanggung jawab sama besar bersama guru di sekolah untuk mendidik anak. Kurang lebih saya setuju rencana pemerintah kota Blitar melarang guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa.

Tapi sebenarnya saya ingin menambahkan, sebaiknya PR tetap diberikan. Bukan kepada anak, tapi kepada orangtuanya.

Persis ketika kami, para orangtua dikumpulkan dan diberi tugas dengan tema sama dengan pelajaran di sekolah, tapi untuk diimplementasikan di rumah.

Misalnya, kalau kita sesuaikan buku sekolah elektronik (BSE) tematik kelas 1 SD, tema dalam rencana pembelajaran 1,5 bulan pertama adalah “Diriku”. 

Tema tersebut dibagi dalam 4 sub-tema. Dalam sub-tema “Aku dan Teman Baru”, tugas guru cukup jelas yaitu menumbuhkan sikap percaya diri dan berani untuk bersosialisasi dengan teman sekelas.

Sementara tugas orangtua setiap hari adalah menanyakan anak siapa saja nama teman sekelasnya, sudah bermain apa saja dengan mereka? Bagaimana perilaku dan perasaan anak terhadap teman-temanya? Dan sebaliknya.

Dalam biografinya, Bung Hatta menceritakan. Setiap hari sepulang sekolah, dia dipanggil oleh kakeknya. Sambil duduk di pangkuan beliau, Hatta kecil diminta mengingat kembali dan menceritakan semua hal yang terjadi di sekolah.

Kurikulum lebih baik

Kalau kita perhatikan lebih jauh, minimal dari BSE yang bisa diunduh secara gratis (https://www.bukusekolahdigital.com/data/2013/kelas_1sd/siswa/), buku pelajaran kelas 1 SD berdasarkan K13 sudah jauh berbeda dari kurikulum 2006 atau KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Meskipun saya masih berharap bahwa kelas 1SD seharusnya lebih banyak gambar daripada tulisan. Tapi kalau dibandingkan dengan buku pelajaran SD KTSP, buku pelajaran tematik K13 ini sudah jauh lebih baik. Jauh sekali.

Bandingkan, dalam buku kelas 1 SD kurikulum lama pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, salah satu tugas diberikan pada anak sebagai berikut: “kamu telah mengetahui pengertian identitas berdiskusilah dengan kedua orang tuamu tanyakan manfaat mengetahui identitas orang lain tulislah jawabannya pada tabel berikut ini”

Lalu di bawahnya ada tabel kosong, anak diminta menulis lima manfaat identitas. Saya geleng-geleng melihat buku ini.

Saya bayangkan anak saya kelas 1 SD akan stress, atau malah cuek melihat soal macam ini.

Pertama menurut saya, anak kelas 1 SD ketika pertama kali masuk tidak harus bisa membaca, apalagi menulis. Justru ketika itu mereka baru mulai diajarkan. Soal macam ini mengharuskan semua anak ketika lulus TK sudah bisa membaca dan menulis.

Peran orangtua

Sementara itu sekarang, buku BSE kelas 1 SD kurikulum 2013 sudah lebih sederhana, gambar lebih baik dan lebih banyak, kata-kata lebih sedikit, dan huruf lebih besar.

Dalam buku ini pun setiap sub-tema ada 6 model pembelajaran, bisa dengan permainan, dengan bernyanyi, plus yang saya suka ada “kegiatan bersama orangtua”.

Tidak hanya itu, buku tematik ini terbagi dua. Ada buku untuk siswa, dan ada buku untuk guru (dan orangtua) sehingga target dan tujuan pembelajaran menurut saya lumayan jelas dan mudah dimengerti.

Namun sekali lagi, kurikulum komperhensif, buku lengkap, sekolah besar, dan guru kompeten tidak akan cukup. Peran orangtua sangat penting.

Menurut saya, orangtua juga harus tahu apa yang dipelajari anak di sekolah dan secara paralel memberikan contoh dan manfaat materi dipelajari di sekolah untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di lingkungan keluarga.

Hal ini untuk memantapkan pelajaran formal di sekolah karena sekolah tidak hanya berfungsi sebagai penitipan anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau