Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Media Sosial Membuat Kita Semakin Dungu?

Kompas.com - 22/10/2018, 14:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kata-kata makin kasar dapat makin menegaskan seseorang anggota kelompok tertentu, atau pro dengan isu tertentu (in-group). Umpatan dan makian ke kelompok lain juga menegaskan bahwa orang lain itu bukan bagian dari kelompok (out-group).

Seperti gerombolan suporter persib (in-group) di stadion Gelora Bandung Lautan Api beberapa waktu yang lalu, ketika mengetahui Haringga Sirla adalah pendukung persija (out-group) tanpa pikir panjang, tanpa perlu tahu latar belakang, mereka langsung keroyok dan habisi. Sesimpel itu.

Situasi chaos semacam itu dengan mudah bisa terjadi, apalagi semua media sosial memberikan bahan bakarnya.

Ya, bahan bakar ini makin meruncingkan opini, makin membuat masyarakat mudah sekali diadu domba. Mudah dicocok hidungnya untuk percaya bahwa capres idola selalu benar bagi masing-masing pendukungnya, dan capres lawan selalu salah. Kenapa bisa begitu?

Media sosial "mengikat"

Media sosial dirancang untuk "mengikat", untuk mencegah pengguna pindah ke aplikasi lain. Kalau bisa selama 24 jam. Karena semakin banyak diklik, semakin banyak pula iklan yang bisa didapat, semakin banyak uang yang mengalir ke Facebook, Instagram atau Twitter. Bagaimana caranya?

Misal, saya pernah mencari-cari restoran burger di google atau membaca testimoninya di media sosial. Tiba-tiba secara otomatis hampir semua media sosial lain muncul informasi terkait restoran burger.

Ini bukan kebetulan. Begitu pula ketika kita lebih sering membuka tautan capres idola. Otomatis makin banyak tautan mengenai capres idola, makin jarang kita klik tautan capres lawan, makin sedikit pula informasi dari tim capres lawan mampir ke halaman media sosial kita.

Situasi ini diperparah dengan semakin jarangnya kita berdiskusi atau bicara tatap muka dengan orang berbeda pendapat. Padahal ketika makin banyak bertatap muka dengan orang lain, apalagi yang berbeda pendapat sinapsis, atau lompatan-lompatan neuron dalam otak kita akan semakin banyak.

Wawasan kita akan semakin luas dan pandangan kita akan semakin beragam. Sehingga mencegah kita menjadi buta, membuka kacamata kuda, dan membuat otak kita tidak tumpul (baca: dungu).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau