Sri Mulyani Dorong Akademisi Beri Solusi Masalah Perubahan Iklim

Kompas.com - 11/12/2018, 23:32 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Kemajuan pesat dunia dalam berbagai bidang telah memberikan dampak positif bagi perkembangan teknologi di sektor industri. Namun, lingkungan mendapatkan dampak buruk dari kemajuan ini.

Salah satu masalahnya adalah perubahan iklim yang diakibatkan emisi berlebih karbon.

Hal ini menjadi perhatian Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati pada seminar "Towards Zero Carbon" yang diselenggarakan Alumni ITB '88 pada Jumat (7/12/2018) di Aula Barat ITB. 

Temperatur dunia naik

“Mengapa kita perlu peduli mengenai climate change? Banyak laporan sudah memberikan bukti ilmiah bahwa kita, siapapun kita, dari negara mana, rasnya apa, agamanya apa, bahasanya apa, di belahan bumi yang manapun, kita akan terdampak oleh kenyataan bahwa dunia ini terus menghangat,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari laman resmi ITB.
 
Sri Mulyani menjelaskan, aktivitas manusia, terutama di negara-negara yang ekonominya semakin maju menuju industrialisasi telah berkontribusi pada meningkatnya temperatur dunia.
 
Banyaknya emisi karbon yang dilepaskan selama proses industri menyebabkan suhu temperatur dunia naik 1 derajat jika dibandingkan dengan zaman sebelum industri.
 
“Banyak negara-negara dari low income country menjadi middle income country, middle income country menjadi high income country, itu proses transformasi ekonomi untuk maju. Maju means di negara itu kemudian muncul pabrik. Maju means bahwa orang-orang di negara itu makin punya kendaraan. Maju means bahwa negara itu yang tadinya rumah-rumah ga ada AC sekarang penuh dengan AC. Dan itu semuanya adalah carbon emission,” jelas Sri Mulyani.

Fenomena "rumah kaca"

Emisi CO2 yang dihasilkan industri semakin bertambah setiap harinya berbanding terbalik dengan kemampuan bumi untuk menyerap karbon menjadi semakin berkurang.
 
Sri Mulyani mencontohkan bagaimana hutan telah berubah menjadi tempat berdirinya bangunan, serta laut kini disesaki sampah plastik sehingga kemampuan absorbsi CO2 berkurang.
 
CO2 berlebih ini lalu memunculkan fenomena rumah kaca yang memicu pemanasan global.
 
Keadaan seperti itu akan menyebabkan lelehnya gunung es di Antartika, dan setelah bertahun-tahun lelehan tersebut akan menaikkan tinggi permukaan air laut. “Kalau satu benua isinya es meleleh, maka implikasinya adalah seluruh dunia,” ucap Sri Mulyani.
 
Dijelaskan Sri Mulyani, Indonesia bisa berperan dalam pembatasan level temperature dunia dengan menyusun strategi pembangunan.
 
Kemajuan dilakukan dengan memberi akses energi pada seluruh rakyat Indonesia yang mampu membatasi bertambahnya emisi CO2. Dengan begitu, masyarakat dapat menikmati kemajuan perekonomian yang lebih ramah lingkungan.
 
Untuk energi listrik misalnya, ia menjelaskan bahwa energi digunakan perlu diubah menjadi renewable. Batubara saat ini menjadi sumber energi utama untuk menghasikan listrik karena harganya yang murah, namun menghasilkan emisi CO2 besar.
 

Akademisi memberi solusi

Untuk itu, mitigasi pada polusi yang sudah terlanjur terjadi perlu dilakukan.
 
So if we want to avoid batubara, berarti kita butuh financing untuk memberi insentif lain, karena membangun listrik dalam bentuk hydrothermal, geothermal itu much much more expensive and demanding,” jelasnya.
 
Sri Mulyani berpesan agar ITB sebagai gudangnya akademisi bisa memberi solusi pada permasalahan ini, “Seharusnya ITB adalah menjadi the prominent voice atau champion dalam bidang untuk, pertama memahami climate change, kedua melakukan advokasi, dan ketiga ikut serta secara aktif untuk meng-address isu climate change.”
 
“Dan saya memang termasuk yang berharap sangat tinggi bahwa kampus-kampus di indonesia itu menjadi the greater voice and champion untuk isu climate change karena disinilah sebetulnya bisa diramu pemikiran berdasarkan evidence, berdasarkan kelilmuan juga berdasarkan kemampuan untuk mendukung dengan suatu tema research dan menyampaikan ke masyarakat secara kredibel untuk menjadi masukan penting di dalam formulasi kebijakan pemerintah," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau