Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Negara Agraris Tanpa Petani, Miris...

Kompas.com - 20/01/2019, 16:34 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Saat ditanya mengenai cita-cita kita jarang mendengar ada anak secara antusias lantang menjawab, "Aku ingin jadi petani!"

Anak-anak kita cenderung mempunyai cita-cita sebagai dokter, astronot, pilot, pengusaha, presiden, guru, pramugari, atau malah menjadi youtuber.

Cita-cita itu sangat mulia dan orangtua layak memberi mendukungnya. Akan tetapi hal itu sangat ironis bila mengingat bangsa Indonesia sudah termasyhur sebagai negara agraris, negara yang mengutamakan pertanian sebagai pondasinya.

Miris, sangat jarang generasi mudanya bercita-cita menjadi petani.

Forum Sahabat Keluarga melaporkan, berdasarkan hasil jajak pendapat hipwee.com cita-cita menjadi petani tidak termasuk dalam kategori 10 besar cita-cita dipilih anak-anak. Cita-cita yang menjadi pilihan anak-anak antara lain; dokter, pilot, astronot, profesor, presiden, artis, atlet, guru, polisi, atau menjadi seperti ibu bapaknya.

Profesi petani menempati urutan ke 23 dalam survei ini.

Baca juga: Ternyata, Haji Agus Salim Pilih Homeschooling untuk Pendidikan Anak

Data ini didukung pula survei KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) yang menyatakan pemuda di Indonesia 70 persen tidak tertarik menjadi petani padi. Bahkan anak petani pun kurang tertarik menjadi petani.

Bahkan dari hasil Riset KRKP ada 63 persen anak petani menolak menjadi petani. Lalu, apa jadinya dengan putra-putri lain yang bukan anak petani? Kita dapat membayangkan sendiri.

Karena itu, jumlah petani di Indonesia, negara agraris, semakin berkurang. Berdasarkan catatan KRKP dalam satu dekade dari tahun 2003 hingga 2013 terjadi penurunan jumlah petani sebanyak 5 juta.

Selain itu petani-petani di Indonesia masih didominasi generasi tua. Hampir mencapai 70%.

Dilansir dari forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, rendahnya minat menjadi petani disebabkan beberapa hal:

1.Citra jelek tentang petani

Profesi petani dianggap tidak bergengsi dan dipandang sebelah mata. Di mata anak-anak, petani hanya orang-orang yang harus menceburkan diri di sawah, kotor, belepotan tanah, mencangkul, menanam padi, dan terpapar sinar matahari.

2. Tidak memberikan jaminan finansial

Anggapan ini muncul karena mereka melihat sebagian besar petani memiliki pendapatan rendah, rumahnya sederhana, mobil tidak punya dan kehidupannya biasa saja.

3. Tidak memiliki lahan luas

Sekarang sangat banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi pemukiman, perkantoran, kawasan industri, maupun pertokoan. Bagaimana mungkin anak-anak bercita-cita menjadi petani, bila kenyataannya lahan digarap semakin sempit?

4. Belum ada insentif khusus petani muda

Umumnya kita mendengar istilah guru berprestasi atau karyawan berprestasi. Mereka akan mendapatkan penghargaan dan insentif khusus untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan motivasinya dalam menekuni pekerjaan.

Tapi hingga sekarang belum ada penghargaan bagi petani muda, apalagi insentif bagi pemuda yang mau bergelut di bidang pertanian.

5. Tidak dikenalkan orangtua

Hasil survei KRKP menunjukkan bahwa generasi muda tidak berminat dalam bidang pertanian karena orangtua mereka tidak mengenalkan profesi petani kepada anak-anaknya. Tidak ada transfer pengetahuan tentang pertanian. Sebagian besar mereka mengenal ilmu pertanian dari otodidak.

Apakah mungkin orang tua juga takut anaknya sengsara jika menjadi petani?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com