Jangan Salah, Pendidikan Seks Perlu Dimulai sejak Balita

Kompas.com - 20/01/2019, 22:40 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com — Psikolog Elizabeth Santosa berkali-kali mengingatkan bahwa praremaja dan masa remaja adalah usia krusial bagi anak, terutama menyangkut ketertarikan dengan lawan jenis.

Dikutip dari forum Sahabat Keluarga Kemendikbud, psikolog yang akrab disapa Lizzie ini menyebut masa remaja adalah "masa badai". Masa di mana mereka mengalami transisi hormonal yang kerap bikin labil.

Badan sudah besar tapi masih seperti anak-anak, merasa diri dewasa tapi tidak punya tempat.

Agar siap menghadapi masa seperti ini, anak harus selalu didampingi dan mendapat pendidikan seks sejak dini. Kapan tepatnya? Sejak balita!

Sejak balita

”Yang perlu ditekankan adalah pendidikan seks itu penting sepanjang usia. Karena setiap perkembangan usia kita ada tahapan-tahapannya; dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Memangnya dewasa masih perlu juga? Jawabannya ya, karena sebagian pasangan menikah tidak bahagia ternyata karena pendidikan seksnya kurang. Apalagi, seks adalah salah satu kunci sukses harmonisnya keluarga juga,” ungkap Lizzie.

Baca juga: Ternyata, Haji Agus Salim Pilih Homeschooling untuk Pendidikan Anak

Nah yang perlu diingat saat memberikan pendidikan seks bagi balita adalah pemahamannya yang masih terbatas.

Anak di bawah 4 tahun belum memahami abstrak. Jadi saat mengenalkan bagian-bagian tubuh, terutama alat vital, dapat menggunakan alat peraga seperti boneka.

Suasana pengajarannya pun harus menyenangkan, bisa dengan mendongeng. Sebab, pendidikan seks bukan sesuatu yang menyeramkan, apalagi tabu.

Memberi batasan

”Mungkin karena dalam masyarakat kita mendengar seks itu mengacu pada aktivitas ya. Kalau untuk remaja dan dewasa memang bisa dimasukkan tema dating (kencan), hubungan pria dan wanita. Kalau anak-anak, cukup untuk memahami fungsinya, higienitas, dan sebagainya,” tutur Lizzie.

Contoh mengenalkan mulut. Untuk apa? Mungkin anak akan menjawab minum, makan, bicara, hingga mencium. ”Hah mencium? Mencium siapa? Mama dan papa.”

Nah di sinilah bisa disisipkan tips atau pendidikan seks, misal dengan pertanyaan siapa yang nggak boleh dicium?

Orangtua dapat membuat kategori atau batasan, misalnya keluarga hanya dapat mencium pipi. Sementara orang asing jangan.

”Ini bisa menjadi dasar pengetahuan untuk menghadapi dan membedakan pelecehan seksual ke depannya,” tandas Lizzie.

Mengenalkan organ intim

Selanjutnya, kenalkan organ intim dan fungsi-fungsi serta hal terkait lainnya. Ini bisa jadi perbincangan saat praktik menceboki dan sebagainya.

”Misalnya bagian depan seperti penis atau vagina. Gunanya apa? Untuk pipis, makanya harus bersih. ’Adik kalau diceboki mami harus bersih ya.’ Saat pupup (buang air besar) misalnya, anak juga bisa diajak ngobrol pupupnya keluar dari mana? Dubur namanya. Bisa dijelaskan juga bahwa yang keluar adalah ampas makanan. Kalau makan wortel pupupnya warna oranye. Beritahu juga siapa saja yang boleh mencebokinya,” jelas Lizzie.

Anggota tubuh lain yang tak boleh terlewat, menurut Lizzie, adalah dada. ”Saat ibu dan anak perempuan mandi bersama misalnya bisa dimanfaatkan untuk pengenalan buah dada. ’Oya punya adik masih rata ya. Kalau perempuan nanti kayak mama, akan jadi besar."

"Pelan-pelan singgung juga fungsinya. Mungkin dia akan menjawab untuk menyusui. Jadi nanti dia akan tahu bahwa dada bukan sekadar erotis dan harus ditutupi, tapi fungsi utamanya menyusui. Barulah kemudian kita singgung pencegahan kejahatan; harus ditutup dan nggak boleh dipegang oleh siapa-siapa,” paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau