KOMPAS.com - Oxford Society dan Dayalima menggelar forum "Percakapan" ke-46, kali ini mengangkat tema "Life-Changing Education for East Indonesia" di Thought Leadership Lounge, Jakarta (7/2/2019).
Para alumni University of Oxford asal Indonesia maupun lulusan berada di Indonesia yang tergabung dalam Oxford Society mencoba menemukan duduk soal dan juga solusi terhadap permasalahan pendidikan di wilayah Indonesia Timur, khususnya provinsi Papua dan Papua Barat.
Forum menghadirkan nara sumber Billy Mambrasar, putra Papua sekaligus kandidat program pascasarjana di University of Oxford. Selain itu, Prof. Soebroto, Guru Besar UI dan juga mantan Sekjen OPEC dan Menteri RI turut menjadi pembicara dalam forum diskusi ini.
"Yang menjadi permasalahan adalah bahwa kemampuan teknis yang dihasilkan pendidikan di sana (Papua) masih belum membuat lulusannya terserap di dunia kerja. Banyak sekali kebutuhan tenaga kerja di sana, namun kebutuhan tenaga kerja di sana berasal dari industri berteknologi tinggi," ujar Billy kepada Kompas.com di sela-sela acara.
Baca juga: Kisah Sekolah Bambu dan Titik Bangkit Pendidikan di Lombok
Billy menjelaskan industri teknologi tinggi ini membutuhkan lulusan tidak hanya dengan kemampuan teknis melainkan juga lulusan dengan kemampuan berpikir kritis, inovatif, dan juga kemampuan entrepreneurship.
Permasalahan pendidikan di Papua yang pertama, Billy menyampaikan, disebabkan karena kurikulum yang kurang kontekstual dengan kondisi di Papua. "Pendekatan keilmuan yang sama untuk demografi yang berbeda seharusnya berbeda. Misalnya, ketika siswa Papua belajar agri bisnis namun yang menjadi bahan ajar menggunakan padi-padian, kurang kontekstual dengan kondisi Papua," ujarnya.
Hal kedua yang menjadi duduk soal di sana adalah anak-anak Papua juga harus mengejar ketertinggalan dari sisi kualitas pendidikan dan juga akses informasi yang belum semasiv saat ini. "Mereka harus 'berlari sprint' untuk mengejar ketertinggalan ini. Dan untuk mempercepat ketertinggalan ini dibutuhkan dukungan dari sektor informal," tegas Billy.
Hal lain juga menjadi isu pokok pendidikan di Papua adalah soal kompetensi guru. "Angka absensi guru tertinggi di Indonesia. Kalau guru ada, kapasitas guru masih perlu ditingkatkan untuk menjawab tantangan itu," tambahnya.
Billy melihat, program sukarelawan pendidik yang dikirim ke Papua tidak menjawab permasalahan. "Banyak program ini pada akhirnya tidak berkelanjutan dan pedekatan kurang kontekstual," ujar lulusan Australian National University ini.
Atas dasar itulah kemudian Billy menginisiasi lahirnya "Kitong Bisa Foundation", lembaga yang mencoba melakukan perubahan paradigma pendidikan di Papua untuk melahirkan putra-putri daerah menjadi pemimpin dan penggerak ekonomi daerah.
"Menjadi inspirasi saja tidak cukup. Kita harus mendampingi mereka setiap hari. Inilah yang kami lakukan, terus melakukan pendampingan putra-putri Papua di manapun mereka menempuh pendidikan. Mereka akan menjadi stimulan dan change maker di komunitas mereka," tambahnya.
Billy mengharapkan pemajuan pendidikan ke depan di Papua lebih menekankan pendekatan yang kontekstual. "Jangan membawa definisi dari luar untuk menilai orang Papua. Selain infrastruktur, kini saatnya kita fokus kepada pembangunan manusia dan masyarakat itu sendiri sehigga kita bisa menjadi penggerak perubahan," harapnya.
Prof. Soebroto mengharapkan para alumni University of Oxford dapat memberikan kontribusi dalam melahirkan calon-calon pemimpin Papua masa depan. "Kita telah memiliki modal sumber daya alam dan sumber daya manusia yang besar. Kita masih harus mengejar sumber daya teknologi jika ingin menjadi negara terbesar ke-4 di dunia," imbau Prof. Soebroto.
Prof. Soebroto juga menambahkan melahirkan pemimpin masa depan pintar saja tidak cukup melainkan perlu pemimpin yang jujur dan bekerja keras. Untuk itu, filosofi Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat relevan saat ini.
"Pendidikan yang membangun rasa (kepekaan), cipta (pengetahuan) dan karsa (keinginan untuk melakukan perubahan) dari Ki Hadjar Dewantara menjadi penting untuk mewujudkan gambaran besar Indonesia Raya yang sejahtera," jelasnya.
President Oxford Society, Rio Haminoto menepis anggapan alumni universitas luar negeri yang tercerabut dari akar keindonesiaan.
"Kecenderungan lulusan luar negeri adalah tiba-tiba menjadi kurang bersentuhan dengan kondisi di Indonesia. Melalui acara-acara seperti ini kita mengajak supaya apa yang menjadi tema-tema penelitian atau yang telah kita pelajari akan selalu mengakar ke Indonesia. Arahnya selalu untuk Indonesia," tegasnya
Rio menyampaikan, meski baru dibentuk 18 Maret 2018 lalu, Oxford Society yang saat ini berjumlah 98 orang berupaya melakukan pendampingan bagi pelajar Indonesia yang tertarik melanjutkan studi ke Oxford University.
"Setelah sharing-sharing ini, kami tengah menyusun dan mencari bentuk kegiatan agar Oxford Society dapat lebih memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat," tutup Rio.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.