Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem Zonasi, Kemendikbud Dinilai Langgar UU Sistem Pendidikan Nasional

Kompas.com - 19/06/2019, 18:56 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sistem zonasi yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun lalu kembali menuai banyak polemik serta pro-kontra di masyarakat.

Masyarakat banyak yang merasakan imbasnya secara langsung, terutama yang memiliki putra-putri yang akan mendaftar ke sekolah baru.

Para orangtua mengeluhkan sulitnya mendapatkan sekolah sesuai dengan keinginan, karena adanya pembatasan kuota siswa yang berasal dari daerah bukan sekitar sekolah tujuan.

Hasilnya, banyak siswa dengan hasil akademis yang tinggi gagal menjadi siswa baru di sekolah unggulan, karena tersisihkan oleh siswa-siswa yang secara jarak berdekatan dengan letak sekolah.

Akan tetapi, menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, sistem zonasi PPDB ini berpotensi melanggar undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"Penerimaan murid baru menjadi kewenangan sekolah, dengan kata lain kebijakan zonasi itu melanggar UU Sisdiknas yang seharusnya (aturan itu) dilakukan Kemendikbud," kata Darmaningtyas kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019) siang.

Dia menjelaskan, Pasal 16 Ayat (1) Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) bertentangan dengan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam ayat Permendibud tersebut, tertulis bahwa semua sekolah di bawah kewenangan pemerintah wajib mengalokasikan 90 persen kuota siswa barunya untuk pendaftar yang berdomisili di zona dekat sekolah.

"Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Baca juga: Protes PPDB Sistem Zonasi, Wali Murid Hadang Mobil Dinas di Depan Gedung Grahadi

Sementara pasal dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa standar pelayanan yang digunakan adalah prinsip manajemen berbasis sekolah.

Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”

Darmaningtyas menyebut, kegiatan PPDB merupakan salah satu dari manajemen sekolah yang dimaksud.

Para calon siswa sedang mengantri untuk menyerahkan berkas persyaratan masuk SMK Negeri 1 Kota Magelang, di aula sekolah setempat, Selasa (18/6/2019).KOMPAS.com/IKA FITRIANA Para calon siswa sedang mengantri untuk menyerahkan berkas persyaratan masuk SMK Negeri 1 Kota Magelang, di aula sekolah setempat, Selasa (18/6/2019).

Karena bertentangan itulah, Darmaningtyas menilai, tidak semestinya pemerintah pusat mengendalikan otonomi tersebut melalui peraturan yang diberlakukan secara nasional.

"Jadi jangan diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat itu hanya kasih guideline bahwa dalam penerimaan murid baru perlu memperhatikan aspek zonasi, tapi detailnya, berapa zonasinya, itu biarkan menjadi kewenangan sekolah," ucap Darmaningtyas.

Permendikbud tentang PPDB tahun 2018 itu mewajibkan setiap sekolah untuk mengalokasikan 90 persen kuotanya bagi pendaftar dari zona sekitarnya.

Akan tetapi, jarak yang ditetapkan sebagai zona itu menjadi kewenangan masing-masing daerah untuk menentukan. Hal ini karena perbedaan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial masing-masing daerah yang berlainan.

"Kan Pak Jokowi katanya mau memberikan otonomi daerah atau sekolah yang seluas-luasnya, tapi kenapa justru sentralistik (kewajiban kuota 90 persen)," ucap Darmaningtyas.

Baca juga: Dedi Mulyadi: PPDB Sistem Zonasi Harus Disertai Keadilan Negara

Darmaningtyas mendukung diberlakukannya sistem zonasi, tetapi ia menilai besaran persentase zonasi tersebut menjadi kewenangan sekolah, bukan pemerintah pusat, apalagi dengan besaran kuota 90 persen.

"Saya intinya setuju zonasi, tetapi tidak 90 persen, itu kebijakan yang menyesatkan. Mungkin 50:50, lah, sehingga bisa mengakomodasi dua belah pihak (siswa di sekitar sekolah dan siswa berprestasi)," ujar Darmaningtyas.

Menurut dia, persentase 90 persen ini tidak memberi kesempatan pada anak yang memiliki kepandaian tertentu, tetapi posisinya jauh dari sekolah negeri.

":Celaka lagi kalau itu adalah anak orang miskin. Anaknya sudah pintar, seharusnya bisa sekolah negeri, tetapi karena letak rumahnya berjauhan dengan sekolah dia enggak bisa diterima di sekolah negeri," tuturnya.

Baca juga: Antrean Daftar PPDB Membeludak akibat Perubahan Kuota Sistem Zonasi hingga Info Hoaks

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com