Polemik Sistem Zonasi Penerimaan Murid Baru, Ini Kata Federasi Guru

Kompas.com - 19/06/2019, 14:08 WIB
Mela Arnani,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan menggunakan sistem zonasi masih saja mendapat sorotan publik. Sistem zonasi ini masih menuai polemik meskipun berjalan pada tahun ketiga.

Fenomena orangtua yang rela mengantre sejak pagi buta demi mendaftarkan anaknya di sekolah tertentu, mendapatkan respons dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim menjelaskan, penerapan sistem zonasi pada penerimaan siswa saat ini sebenarnya bagus, karena dapat memeratakan akses pendidikan.

"Kami setuju untuk menghilangkan kasta di sekolah. Termasuk memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk bersekolah di sekolah yang dekat rumah mereka," kata Satriwan saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/6/2019).

Meskipun hasil penerapan sistem zonasi ini belum dapat dievaluasi, lanjut Satriwan, penerapan sistem yang masih berjalan tiga tahun ini menuju keadilan pendidikan. Sebab, setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama.

"Tahun depan baru kita lihat (hasil penerapan sistem zonasi), karena zonasi pertama kali itu tahun 2017, berarti siswa lulus 2020. Jadi kita tidak bisa terburu-buru untuk memberikan evaluasi," ujar dia.

Baca juga: Ketentuan Sistem Zonasi Penerimaan Murid Baru yang Perlu Diketahui

Satriwan menyampaikan, pihaknya membuka fasilitas pengaduan jika selama sistem zonasi diterapkan terjadi kecurangan, seperti pungutan liar atau "jualan kursi".

Pangaduan tersebut dapat dilakukan melalui telepon atau WhatsApp ke nomor 0812-8765-8515, 0821-11050-951, 0859-3700-0006, atau 0853-7070-0060.

Catatan FSGI

Satriwan menuturkan, terkait penerapan sistem zonasi ini, pemerintah harus memperhatikan fasilitas yang ada di masing-masing sekolah, termasuk standar pendidik dan tenaga pendidikan.

"Jangka panjang PPDB akan adaptif dan implementatif jika pemerintah memaksimalkan sarana dan prasarana sekolah," tutur dia.

Menurut Satriwan, pemerintah wajib membangun sekolah dengan sarana dan prasarana memadai, termasuk infrastuktur akses menuju sekolah, serta infrastruktur sekolah seperti internet, komputer, laboratorium, dan lain-lain.

Orangtua

Satriwan menyampaikan, paradigma orangtua terhadap "sekolah favorit" memang wajib diubah, meskipun mengubah cara pandang ini tak semudah membalikkan telapak tangan.

Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota juga mempunyai peran untuk membantu para orangtua mengubah pemikiran ini.

"Sekolah itu semuanya favorit. Seluruh siswa itu semuanya pintar. Yang beda adalah hanya mereka tidak mempunyai kesempatan yang sama, sekarang kesempatan dibuka sama," tutur Satriwan.

"Cara pandang sekolah negeri tertentu itu guru-gurunya pintar-pintar. Justru mungkin terbalik, karena muridnya memang sudah pintar-pintar," kata dia.

Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau