Berbagai Masalah Sistem Zonasi, Kebijakan yang Dinilai Tak Lihat Kondisi Lapangan

Kompas.com - 20/06/2019, 18:11 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem zonasi 90 persen pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri terus menuai polemik.

Sebagian besar masalah itu dialami para orangtua dan putra-putrinya yang tengah mencari sekolah baru selepas lulus dari TK, SD, atau SMP.

Mereka merupakan obyek yang secara tidak langsung menjadi sasaran pembuat kebijakan dalam Permendikbud ini, khususnya untuk Pasal 16 Ayat (1) dan (2) tentang Sistem Zonasi.

Beberapa permasalahan terjadi di tengah masyarakat dalam rangka mendapatkan sekolah baru dengan kualitas unggul.

Antre sejak dini hari

Informasi adanya pemandangan antrean mengejar formulir PPDB di sekolah-sekolah beberapa hari ini kerap berseliweran di media sosial.

Antrean itu adalah para orangtua atau wali siswa yang ingin mendapatkan nomor formulir yang jumlahnya terbatas untuk anaknya mendaftar sekolah.

Pendaftar dengan nomor formulir yang lebih kecil, menjadi prioritas panita sekalipun nilai murid pendaftar lebih kecil daripada pendaftar nomor antrean selanjutnya.

Perjuangan mengantre formulir seperti ini salah satunya dialami oleh warga di Depok, Jawa Barat, bernama Rismawati Sitepu yang akan mendaftarkan anaknya ke SMAN 6 Depok.

Ia datang ke sekolah pada pukul 05.00 pagi dan mendapatkan nomor antrian 55. Itu berarti sudah ada 54 pendaftar yang datang sebelum dirinya. 

"Saya kaget juga datang pukul 05.00 pagi ternyata antrean sudah nomor 55. Tanya teman yang lain, ada yang jam 03.00 pagi sudah datang terus dapat nomor 17,” ucap Rismawati.

Baca juga: Antre dari Pukul 05.00, Kekagetan Orangtua Siswa soal Sistem Zonasi PPDB

Mengubah data alamat domisili

Perjuangan lain demi bisa mendapatkan sekolah negeri impian harus ditempuh dengan cara mengganti alamat domisili ke sekitar sekolah.

Alamat sangat mempengaruhi peluang seorang siswa untuk diterima di sebuah sekolah, semakin dekat jarak rumahnya, semakin besar pula peluang diterima.

Temuan ini disampaikan oleh Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah II Jawa Barat Dadang Ruhiyat.

"Sekarang banyak yang mengubah domisili si anak ke yang dekat dengan sekolah yang dituju," kata Dadang.

Tidak hanya pindah domisili, bahkan ada juga orangtua siswa yang memanipulasi alamat di Kartu Keluarga (KK).

"Malah ada beberapa orang lainnya didapati (telah) memanipulasi surat keterangan domisili, karena secara keterangan minimal enam bulan hingga setahun. Ini biasanya yang sering dimanfaatkan calo perubah domisili," tuturnya.

Baca juga: Demi Diterima Sekolah Lewat Jalur Zonasi, Siswa Pindah Domisili Jelang PPDB

Sulit mendapat sekolah

Masalah ini paling jamak dirasakan masyarakat yang akan mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.

Karena sistem zonasi, ternyata nilai yang diperoleh seorang siswa tidak bisa banyak membantu dan menjamin ia akan diterima.

Nilai tinggi akan tersingkir oleh pendaftar yang berasal dari sekitar sekolah. Kecuali, jika murid mendaftar lewat jalur prestasi atau kondisi khusus yang kuota masing-masing hanya tersedia 5 persen saja.

Salah satunya disampaikan oleh orangtua murid bernama Ridho yang akan mendaftarkan anaknya di SMA Negeri 1 Depok, Jawa Barat, namun pesimis dengan hasilnya.

"Setelah dihitung, jarak rumah ke sekolah ini lebih dari 1 kilometer. Sementara itu, di sekitar SMAN 1 ini banyak sekolahan yang sepertinya anak muridnya pasti mendaftar ke sini, jadinya agak pesimistis anak saya bisa diterima, tetapi tetap dicoba, siapa tahu bisa ya," ujar dia.

Baca juga: Orangtua: PPDB Sistem Zonasi Tak Adil, Anak Bisa Kalah dengan yang Nilainya Lebih Rendah

Antrean siswa dengan orangtua murid mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 2 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (17/6/2019). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem PPDB dengan mekanisme berdasarkan sistem jalur zonasi atau pemetaan wilayah sebanyak 90 persen, jalur prestasi lima persen, dan jalur perpindahan orang tua wali paling banyak lima persen, bertujuan untuk pemerataan hak memperoleh pendidikan bagi anak-anak usia sekolah.ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI Antrean siswa dengan orangtua murid mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 2 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (17/6/2019). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem PPDB dengan mekanisme berdasarkan sistem jalur zonasi atau pemetaan wilayah sebanyak 90 persen, jalur prestasi lima persen, dan jalur perpindahan orang tua wali paling banyak lima persen, bertujuan untuk pemerataan hak memperoleh pendidikan bagi anak-anak usia sekolah.
Berdasarkan banyaknya permasalahan yang timbul akibat peraturan sistem zonasi 90 persen dari Kemendikbud, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai sistem ini dibuat dengan tidak melihat kondisi di lapangan.

"Inilah cermin kebijakan yang disusun hanya dari belakang meja, tidak dari realitas di lapangan," ujar Darmaningtyas saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/6/2019) sore.

Memandang permasalahan yang kemudian timbul, Darmaningtyas menyebut semestinya pemerintah memperhatikan beragam aspek sebelum menetapkan dan menerapkan sebuah peraturan.

Hal ini karena Indonesia merupakan negara luas yang memiliki perbedaan kondisi juga kebutuhan di masing-masing daerahnya. Sehingga tidak semudah itu untuk menetapkan peraturan yang mengikat secara nasional.

“Kalau saya sih realistis ya, kebijakan pendidikan nasional itu kan semestinya dibuat berdasarkan kondisi lapangan geografis, ekonomi, sosial, dan budaya. Jadi tidak hanya berdasarkan angan-angan di belakang meja," ujar dia.

Baca juga: Ombudsman: Sistem Zonasi Ditolak karena Fasilitas dan Mutu Sekolah Belum Merata

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau