KOMPAS.com - Menanggapi pelaksaan sistem zonasi PPDB 2019 yang telah dibuka di beberapa daerah, Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU) Bidang Pendidikan KH Masduki Baidlowi menilai implementasi PPD berbasis zonasi masih prematur.
"Implementasi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB berbasis zonasi dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan mutu pendidikan yang selama ini terjadi di negara kita," ujar KH Masduki seperti dikutip dari rilis resmi PBNU (20/6/2019).
Ia menyampaikan, problem akut ini sangat sulit diatasi sebabnya antara lain karena guru yang bagus-bagus banyak menumpuk di satu tempat atau satu sekolah sehingga timbul istilah sekolah favorit terutama ini terjadi di kota-kota, kabupaten atau pun di kota-kota besar lainnya.
Ada beberapa alasan Wasekjen PBNU Bidang Pendidikan ini menilai implementasi sistem zonasi Permendikbud masih prematur
Guru di sekolah-sekolah pedalaman banyak bermasalah dengan cara mengajar mereka, alias tidak bermutu. Timbulnya istilah "schooling without learning (bersekolah tapi tidak belajar) yang dialami negara berkembang termasuk Indonesia, adalah karena banyak guru tidak memenuhi standar mutu belajar seperti yang diinginkan standar pendidikan nasional.
Baca juga: Ini Dia Seputar Sistem PPDB 2019 yang Penting untuk Anda Ketahui
Kebijakan zonasi sebenarnya ditujukan untuk mengatasi kesenjangan mutu pendidikan ini terutama dari segi bagaimana caranya membagi guru-guru yang bagus mutunya dipindah ke daerah-daerah yang mutu pendidikannya masih rendah.
Kondisi guru memegang posisi kunci penting maju dan tidaknya lembaga pendidikan. Artinya, kalau ibaratnya standar-standar nasional yang lain kurang memadai, tetapi gurunya bermutu, maka sekolahan dan sistem pembelajarannya akan berjalan dengan baik.
Sebab lain, guru bermutu tidak seimbang dengan banyak murid hendak belajar di kelas. Banyaknya lembaga-lembaga bimbingan belajar menandakan berapa minim guru mengajar dengan baik, sekaligus menandakan betapa banyak murid belajar tetapi tidak mengerti terhadap apa yang diajarkan guru pada si murid.
Kebijakan sertifikasi guru semula direncanakan meningkatkan mutu pendidikan nasional ternyata gagal total karena para guru yang sudah lolos sertifikasi tidak pernah dievaluasi, tidak pernah diberikan tantangan meningkatkan prestasi.
Negara juga tidak menyiapkan sistem evaluasinya sehingga sertifikasi guru itu bisa dikatakan gagal total kalau dilihat dari segi tujuan meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan sertifikasi hanya merangsang para guru berebut mengikuti proses sertifikasi dengan berbagai cara, termasuk menghalalkan segala cara, demi menyejahterakan dirinya karena honor sertifikasi itu sangat menjanjikan.
Para guru yang ikut proses sertifikasi tak banyak berniat meningkatkan prestasi dirinya sebagai guru profesional. Yang ada kebanyakan adalah mengejar kesejahteraan.
Akibatnya, setelah lolos dari proses sertifikasi para guru itu menikmati gaji tinggi dan menjadi kelompok kelas menengah baru dengan life style baru seperti bermobil dan seterusnya. Sementara cara mengajar mereka tetap tak bermutu sehingga muridlah yang jadi korban.
Kebijakan zonasi tanpa diimbangi dengan kebijakan lain untuk peningkatan mutu guru secara masif, termasuk mengevaluasi kembali sistem sertifikasi guru secara nasional, tak akan berbuah banyak untuk meningkatkan mutu pendidikan. Artinya, anak murid kita secara nasional masih akan mengalami apa yang disebut "schooling without learning" alias terjadi malapraktik pendidikan secara nasional.
Solusinya pertama, untuk meningkatkan mutu pendidikan pasti tidak ada kebijakan yang bim salabim. Semua butuh konsisten dan persisten untuk menjalani program-programnya. Butuh waktu jangka lama.
Cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional yakni dengan meningkatkan mutu guru. Karena itu kebijakan sertifikasi guru harus dievaluasi disesuaikan kembali dengan target semula: meningkatkan mutu guru, adakan sistem evaluasi secara nasional dengan benar.
Jangan dibiarkan seperti sekarang: uang negara habis ratusan triliun untuk gaji guru dan honor sertifikasinya tetapi pendidikan nasional tetap tidak bermutu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.