JAKARTA, KOMPAS.com - Jika tokoh pendidikan Paulo Freire memiliki pandangan soal pendidikan yang membebaskan, Menteri Pendidikan Kebudayaan Muhadjir Effendy punya pemikiran tentang guru yang memerdekakan.
Pada acara penganugerahan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Berprestasi dan Berdedikasi yang digelar Jumat (16/8/2019), Muhadjir secara lugas mengajak para guru untuk bisa memerdekakan orang-orang di sekitarnya dari berbagai hambatan.
Muhadjir yang mengenakan setelah jas dilengkapi dengan peci hitam itu mengimbau para guru yang telah mengikuti seleksi guru berprestasi, utamanya yang menjadi pemenang, bisa membawa dampak positif pada sesamanya.
Tak cukup memenangi kompetisi guru berprestasi dan menerima penghargaan, para guru yang hadir diminta bisa menjaga dan mengembangkan kualitas pengajaran di sekolah.
Selain itu, para guru mesti bisa menginspirasi dan menularkan prestasinya pada guru-guru lain di sekelilingnya.
“Kalau memang terpilih tapi tidak bisa membawa dampak positif, ya berarti dia hebat untuk dirinya sendiri, tapi tidak hebat untuk orang lain dan kolega guru di sekitarnya,” ujar dia di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta.
Guru berbagi
Ia pun menyoroti soal guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan para guru yang telah lulus uji kompetensi.
Para guru kategori itu, ia melanjutkan, tentu menerima gaji dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan guru-guru honorer.
Sayangnya, para guru yang telah lulus uji kompetensi dan menerima tunjangan profesi tersebut kerap mengajukan protes apabila uang tunjangan telat diterima.
Sementara itu, ada ratusan ribu guru honorer yang menerima gaji dan tunjangan di bawah upah minimum daerah.
“Kalau tunjangan sertifikasi telat dua hari saja, langsung protes, langsung kirim protes ke menteri. Mestinya Anda bersyukur (menerima tunjangan sertifikasi), sementara ada banyak guru yang belum lulus sertifikasi. Bahkan ada 800.000 guru honorer yang tunjangannya cuma Rp 300.000,” kata dia.
Ia pun menantang para guru yang berada di ruangan itu untuk mau berbagi dan berbela rasa dengan tenaga guru honorer. Dengan langkah itu, para guru honorer bakal terbebas dari kesulitan ekonomi.
“Kalau di sini ada yang sudah dapat sertifikasi ada yang mau berbagi tunjangannya dengan guru yang honorer dan ada buktinya, saya langsung pilih sebagai guru berprestasi. Guru berprestasi itu guru yang mau berbagi,” ujarnya.
Kepedulian dan empati sesama guru, lanjut dia, dapat berdampak besar pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan.
“Saya tahu, ada satu dua guru yang tidak punya kepedulian. Karena menganggap itu haknya dan tidak mau berbagi,” kata Muhadjir.
Kesejahteraan guru honorer
Muhadjir memang berkomitmen menyejahterakan para guru honorer. Para guru tidak tetap itu memiliki tanggung jawab sama sebagai pendidik yang telah berstatus PNS atau yang telah menerima tunjangan profesi.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan mengusulkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar gaji guru honorer dapat dialokasikan dari Dana Alokasi Umum (DAU). Sebagai informasi, alokasi DAU pada tahun anggaran 2019 yakni Rp 154 miliar.
Ia berharap, alokasi anggaran DAU dapat meningkat supaya pembayaran gaji dan tunjangan guru honorer dapat dipenuhi. Besaran gaji dan tunjangan guru honorer, imbuh dia, disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) di setiap daerah.
Terbatasanya alokasi anggaran untuk membayar gaji dan tunjangan guru honorer menjadi pemicu pada guru honorer tak bisa diangkat sebagai guru tetap, baik sebagai PNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Hingga kini, guru yang diangkat menjadi guru tetap di daerah hanya 90.000 dari total 155.000 guru honorer.
Pemerahan tenaga guru honorer
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu rupanya masih punya pesan yang tak kalah penting untuk para guru.
Ia meminta para guru yang berpangkat tinggi dan guru yang telah lulus uji kompetensi untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan guru-guru honorer.
“Jangan sebaliknya, guru yang bersertifikat justru memeras tenaga para guru honorer. Itu harus dihilangkan, diberantas dari dunia pendidikan. Tidak layak orang yang seperti itu menyandang profesi guru,” ucap dia.
Ia pun menyadari, sebagian guru senior berpikir tidak perlu bekerja profesional karena masa kerja yang sudah cukup lama. Padahal, para guru senior harus tetap bekerja profesional dan berdedikasi bagi dunia pendidikan.
Faktanya, ada sejumlah guru yang justru melimpahkan beban kerja berlebih kepada guru-guru yang masih berstatus honorer.
“Ada yang berpikir guru yang sudah senior, tidak mau bekerja serius dan berdedikasi karena menganggap sudah bekerja lama,” ujarnya.
Ia pun berpesan, agar Menteri Pendidikan pada Kabinet Kerja periode 2 mampu memperbaiki tata kelola guru demi memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.