“Kami rindu agar kebijakan negara ini bersandar pada evidence, didasari fakta. Kami ingin agar universitas-universitas di negeri ini jadi mercusuar penggerak bangsa dan jadi ujung tombak pengembangan teknologi mutakhir,” ujar Bagus.
Dia menuturkan, ilmuwan diaspora juga harus dilibatkan karena memiliki sumber daya yang mumpuni, bahkan sangat dihormati dan berpengaruh di negara tempat mereka berkarya selama bertahun-tahun.
Sebagai contoh, Hutomo Suryo Wasisto yang memimpin kelompok riset besar di Technische Universitat Braunschweig, Jerman. Ada pula Sastia Prama Putri, asisten profesor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, yang berjuang di tengah dominasi ilmuwan pria di sana.
“Di sini hadir para diaspora yang sangat berpengaruh di negara masing-masing tempatnya bekerja. Mereka masih muda dan sangat dihormati,” imbuh Bagus.
Dia menjelaskan, saat ini telah terjadi perubahan dari sistem perekonomian berbasis bahan baku menjadi sistem yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam transisinya, sangat penting bagi sumber daya manusia Indonesia untuk menguasai teknologi, mengembangkan jaringan internasional, dan melakukan kolaborasi.
Menurut Bagus, simposium ini menjadi ajang untuk membangun kembali persahabatan dengan saudara-saudara di Tanah Air yang bertahun-tahun kurang terjalin baik.
“Kami merasakan kehadiran negara dalam kehidupan. Dulu gedung-gedung negara terasa dingin dan tidak terjangkau, sekarang kami sudah dikunjungi. Simposium ini bukan hanya ingar-bingar hingga larut malam, layaknya kembang api. Ini adalah upaya untuk meningkatkan iklim akademis bangsa,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.