KOMPAS.com - Kita tidak pernah tahu kapan titik balik mampu mengubah keadaan seorang. Ada siswa dulu dikenal "urakan" di kelas namun nyatanya mampu menjadi "orang sukses" di kemudian hari atau mahasiswa dengan IPK "pas-pasan" malah menjadi ilmuwan.
Yang dibutuhkan hanya komitmen dan ketekunan, sehingga saat kesempatan "titik balik" itu datang kita siap untuk meraihnya.
Pengalaman inilah yang dibagikan Bagus Muljadi, ilmuwan diaspora sekaligus dosen termuda di Nottingham University, Inggris, kepada Kompas.com di sela-sela acara SCKD (Simposium Cendikia Kelas Dunia) yang digelar Kemenristekdikti di Jakarta (22/8/2019).
Bagus, sapaan akrabnya, menganggap perkara menggapai cita-cita adalah bagaimana seseorang memaksimalkan kesempatan yang datang padanya.
Sedari bangku sekolah hingga perguruan tinggi, Bagus tidak pernah mendapatkan predikat juara kelas, malah dirinya sempat mendapat banyak nilai merah di rapot. Setelah hidup lama di Jakarta dan akhirnya berkuliah di Bandung, ia lebih sering menghabiskan waktu bermain.
Baca juga: Sastia Prama Putri dan Perjuangan Perempuan Peneliti Diaspora Kelas Dunia
Bagus, putera Betawi kelahiran kelahiran 1 Maret 1983 ini menyadari kesalahannya ketika di masa muda kurang dewasa dalam menyikapi keadaan.
Ditambah dengan beban perkuliahan yang padat juga berat di jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung, dirinya harus mengejar ketertinggalan melalui semester pendek, dan lulus satu tahun lebih lambat dari yang seharusnya dengan IPK 2,69.
Menyadari tingginya kualifikasi perusahaan dalam menerima fresh graduate, Bagus memutuskan mengadu nasib kembali dengan berkuliah di National Taiwan University untuk meraih gelar S2 dan S3 dengan jurusan Mekanika Terapan.
Tantangan baru yang Bagus sadari ketika melanjutkan studi di luar negeri tanpa beasiswa adalah persoalan biaya. Tidak habis akal, melalui relasi yang dibangun, Bagus membiayai kuliah dari keuntungan yang ia dapat sebagai sales pompa air.
"Saya tahu kalau saya menyerah dan pulang ke Tanah Air maka semua selesai sudah. Tidak akan ada kesempatan lain. Tertutup sudah semua kesempatan. Tapi kalau saya bisa menyelesaikan ini (S2 dan S3) pintu kesempatan masih terbuka buat saya," jelas Bagus kepada Kompas.com.
Bagi Bagus kunci kesuksesan seseorang adalah saat orang tersebut mampu memaksimalkan kesempatan, meski dibawah tekanan.
Setelah meraih gelar doktor di tahun 2012, di tahun yang sama Bagus menikahi perempuan berkebangsaan Jerman. Menimbang kesulitan bekal ilmu untuk dikembangkan di Indonesia bersama sang istri, keduanya memutuskan bekerja di Eropa.
Saat itu, kesempatan terbuka di bidang matematika. Dalam wawancara, Bagus mengaku sulit memutuskan kesempatan ini.
Apalagi sistem kerja post-doctoral itu bersifat kontrak hanya berjangka 1,5 tahun. Dalam tempo itu pula, dirinya harus belajar dari awal di bidang matematika dan menghasilkan jurnal ilmiah terpublikasi.
Kendati demikian Bagus membulatkan tekat mengambil langkah tersebut di Institut de Mathematiques de Toulouse, Perancis hingga tahun 2014.
Bagus mengakui dalam perjalanan akademiknya, ia jarang mengambil keputusan, namun memaksimalkan kesempatan yang ada di depan mata. Dengan latar belakang yang berbeda, dirinya memberanikan diri melanjutkan post-doctoral Imperial College London.
Dari situlah awal mula perjalanan karir Bagus. Terlebih universitas ini masuk dalam salah satu kampus top di dunia.
Usai menjalani post-doctoral di Imperial College London pada tahun 2017, tidak lama dari situ Bagus kembali diterima sebagai faculty member, asisten profesor termuda di Departemen Teknik Lingkungan dan Kimia di Universitas Nottingham, Inggris.
Usai post-doctoral di tahun 2014, karir akademik Bagus mulai naik. Di tahun sama dirinya diterima sebagai post-doctoral dengan disiplin berbeda yaitu Departemen Ilmu Bumi dan Teknik Petroleum di Imperial College London.
Latar belakang lintas disiplin yang unik justru membuat dirinya terpilih sebagai peneliti yang memiliki sudut pandang keilmuan beragam. Pihak kampus menghargai Bagus yang memiliki independensi dalam melakukan penelitian.
Memiliki gelar keilmuan beragam tidak semata-mata mudah didapatkan. Awalnya Bagus menilainya sebagai bentuk awal ‘keras’nya hidup sekaligus pembelajaran atas ketidakdewasaan dirinya saat berkuliah di S1.
Dalam perjalanan akademisnya, Bagus mengalami beragam beban; negara baru, lingkungan baru, bahasa baru, dan studi tanpa beasiswa.
Memulai track record akademik kurang memuaskan juga membentuk Bagus menjadi sosok adaptif. Ke”pasrah”annya justru membuat dirinya menekuni ragam lintas disiplin, dan menjadi berkat bagi dirinya.
Pekerjaannya saat ini sebagai anggota permanen di University of Nottingham tentu buah dari perjuangannya yang berbentuk dari portofolio riset interdisipliner.
"Pendidikan di luar negeri sangat menghargai peneliti atau ilmuwan yang memiliki pengalaman lintas keilmuan atau interdisipliner. Mereka biasanya memiliki pandangan yang lebih lengkap ketika dihadapkan dalam satu pemecahan masalah," ujar Bagus.
Bagus menilai Iklim dan budaya akademis Indonesia perlahan namun pasti sudah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Bagus menyeritakan ketika melanjutkan studi ke Taiwan tahun 2006, tidak banyak orang mengenal dan melakukan riset maupun jurnal ilmiah. "Berbeda dengan situasi saat ini.
Ilmuwan dan akademisi tua-muda di Indonesia saat ini sudah mulai vokal dan berani kritis akan situasi di Indonesia melalui media, dan ingin menjadi agent of change," ujarnya.
Ia menambahkan pengisi kursi pemerintahan dan masyarakat yang berkontribusi dalam membuat kebijakan juga pada saat ini tidak lagi terpaku pada satu keilmuan, namun mulai melek dalam beragam perspektif sains.
Diaspora juga turut dipanggil ke Indonesia untuk kontribusi dalam memajukan pendidikan dan penemuan dalam menyelesaikan masalah dalam negeri. Padahal praktik ini sudah dilakukan China jauh berdekade sebelum Indonesia, dan sudah membuahkan hasil.
Dalam mencetak sumber daya manusia, bagi Bagus menilai SDM Indonesia tidak kalah hebat. Toh dirinya sudah membuktikan dengan mengawali sebagai mahasiswa yang berkuliah di kampus dalam negeri. Namun memang menurutnya, pola pikir akademis yang membedakan.
"Kultur akademis interdisipliner, kolaboratif, dan global untuk menyelesaikan masalah sudah terbangun. Di Indonesia masih sedikti berpaku pada jalur linearitas. Oleh karenanya, kita berharap akan lebih banyak kolaborasi dan studi banding yang dilakukan atas nama pendidikan Indonesia," tutup Bagus.
Penulis: Gabrielle Alicia Wynne Pribadi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.