Hutomo Suryo Wasisto, Jadi Ilmuwan Kelas Dunia dan Membangun Indonesia dari Dunia

Kompas.com - 30/08/2019, 14:34 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi


KOMPAS.com – Bung Karno pernah berkata, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang."

Tidak berlebihan bila perkataan itu disandingkan dengan pengalaman hidup ilmuwan Indonesia yang bermukim di Jerman, Hutomo Suryo Wasisto. Saat ini dia tercatat sebagai seorang diaspora yang memperoleh hak menjadi warga negara tetap di sana.

Untuk mendapatkan hak istimewa itu, Ito, panggilan akrabnya harus mengalami perjalanan hidup berliku-liku. Semua berawal dari cita-cita masa kecil untuk bisa memiliki gelar seperti ilmuwan sekaligus menteri bidang riset dan teknologi yang populer pada Orde Baru, Prof Dr Ing BJ Habibie.

“Saya lihat di televisi dan koran, ingin ke Jerman dan punya gelar seperti BJ Habibie. Waktu itu mimpinya sudah tinggi sekali. Teman-teman bilang enggak usah mimpi tinggi-tinggi, susah, bahasa Inggris juga pas-pasan,” ucap Hutomo Suryo Wasisto saat mengawali perbincangan dengan Kompas.com, Jumat (23/8/2019) di Jakarta.

Lingkungan akademis

Tidak bisa dimungkiri keinginan itu tumbuh dari latar belakang keluarganya yang terbiasa berkompetisi dan menjadi yang terbaik di bidang masing-masing.

Ito itu mempunyai banyak anggota keluarga yang menjadi dokter. Sebut saja ayahnya yang merupakan dokter spesialis mata, kakaknya dokter bedah saraf, dan pamannya pun seorang dokter bedah.

Baca juga: Sastia Prama Putri dan Perjuangan Perempuan Peneliti Diaspora Kelas Dunia

Hal itu membuat dia sejak kecil sudah terbiasa dengan lingkungan kerja kedokteran, misalnya diajak ayahnya ikut menemani saat praktik di rumah sakit, mengunjungi pasien, dan mengenal berbagai peralatan kedokteran.

Lingkungan keluarga yang bisa dibilang cukup intelektual tersebut membuatnya terpacu untuk rajin belajar sehingga selalu berhasil menduduki peringkat pertama sejak dari SD hingga SMP ketika dia tinggal bersama orang tua di Purbalingga, Jawa Tengah.

“Didikan orang tua menanamkan bahwa jangan lihat kita di mana. Meski di daerah, tapi lakukan yang terbaik. Belajar keras,” ujarnya.

Meski demikian, dia mengaku tetap menikmati masa kecil selayaknya anak-anak lain. Dia masih bermain ke sawah, ke alun-alun, dan melakukan permainan anak kala itu bersama teman-teman seusianya.

Keluar dari Purbalingga

Ilmuwan diaspora Hutomo Suryo Wasisto saat menghadiri Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2019 di Jakarta, Jumat (23/8/2019).KOMPAS.com/ERWIN HUTAPEA Ilmuwan diaspora Hutomo Suryo Wasisto saat menghadiri Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2019 di Jakarta, Jumat (23/8/2019).

Sampai akhirnya dia lulus SMP, muncul keinginan untuk keluar dari Purbalingga dan pergi ke kota lain guna melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Dia merasa sudah cukup puas bisa terus-menerus menjadi anak berprestasi di Purbalingga dan harus mencari tantangan baru.

SMA Negeri 3 Yogyakarta menjadi pilihannya. Alasan memilih sekolah itu karena merupakan salah satu yang terbaik di Kota Pelajar. Pada awal Ito bersekolah di sana, dia dikenal karena reputasi bagus kakaknya yang sudah bersekolah terlebih dulu di situ.

Namun, dia bisa membuktikan bahwa mampu memiliki prestasi sendiri, yaitu terpilih sebagai murid yang bisa mengikuti kelas akselerasi khusus. Untuk bisa menjadi siswa di kelas itu, dia wajib mennghadapi seleksi melalui tes EQ dan IQ. Akhirnya studi di SMA bisa dijalaninya hanya dalam waktu dua tahun.

“Kakak saya sudah di situ duluan, saya dikenal karena dia. Tapi, sayi ingin dikenal sebaga Ito. Lalu ada program kelas akselerasi, saya coba-coba aja dan diterima. Dari ratusan siswa, yang diterima cuma tiga orang dan sekolahnya cuma dua tahun,” ujar pria kelahiran 7 September 1987 itu.

Beralih ke elektro

Setelah lulus SMA, sebagai usaha melanjutkan tradisi sebagai keluarga dokter, dia pun menentukan pilihan pertama dan mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).

Namun, takdir berkata lain. Ito justru diterima di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro UGM yang merupakan pilihan kedua.

Bukan Ito namanya kalau tidak bisa menunjukkan menjadi yang terbaik. Dia mampu menyelesaikan kuliah lebih kurang hanya 3,5 tahun dengan IPK 3,81 sekaligus keluar sebagai lulusan S1 tercepat dan terbaik, serta yang termuda karena lulus pada usia 20 tahun.

Menjadi lulusan terbaik membuat dia mendapatkan banyak penawaran dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan informatika. Gaji dan bonus yang besar, fasilitas hidup yang sangat layak, serta karier yang menanjak, itulah beberapa tawaran yang menggiurkan dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Ternyata Ito tidak mudah tergiur dengan iming-iming itu. Dia ingin melanjutkan studi ke tingkat S2 di luar negeri. Keinginan itu sejalan dengan nasihat ayahnya yang menyarankan agar dia mencari pengalaman baru dengan merantau ke negara lain.

Dia pun merasa percuma memiliki gelar lulusan S1 terbaik dari UGM jika tidak dimanfaatkan untuk memperoleh beasiswa. Jerman menjadi negara pilihannya, sesuai cita-cita sedari kecil.

“Bapak saya bilang, ‘Coba lihat dunia luar dulu, dunia itu enggak cuma perminyakan. Pergi dulu merantau.’ Saya ingin sekali ke Jerman. Bapak saya mau biayai, tapi saya lulusan terbaik, harusnya pakai beasiswa dong,” tuturnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau