"Kece Badai", Inovasi "Deoterions" Mahasiswa Brawijaya Ini Percepat Evakuasi Korban Gempa

Kompas.com - 07/09/2019, 09:27 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Berbagai inovasi membanggakan telah banyak dihasilkan mahasiswa Indonesia. Salah satunya, "Deoterions" karya tiga mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Mahasiswa angkatan 2016 terdiri dari Adin Okta Triqadafi (Jurusan Instrumentasi), M Rikza Maulana (Jurusan Fisika Material), dan Satrio Wiradinata Riady Boer (Jurusan Fisika Komputasi) itu berhasil menciptakan alat untuk mempermudah evakuasi korban gempa yang diberi nama "Deoterions". 

Saat dihubungi Kompas.com (6/9/2019), Rikza Maulana menceritakan latar belakang pembuatan alat tersebut. Dia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki aktivitas seismik yang aktif dan berpotensi gempa bumi.

Gempa skala besar dapat mengakibatkan ambruknya konstruksi bangunan. Hal itu membahayakan para penghuni bangunan karena menimbulkan korban jiwa, seperti yang pernah terjadi dalam beberapa gempa bumi di Indonesia.

Baca juga: Bali Jadi Saksi Bangkitnya Gairah Riset dan Inovasi Anak Bangsa

Dia mencontohkan gempa Padang pada 2009. Dalam kejadian naas itu, temannya bernama Satrio yang berada di lokasi gempa tersebut melihat sejumlah korban yang terlambat diselamatkan karena petugas kesulitan mencari lokasi korban.

Keterbatasan teknologi mitigasi

Padahal, seharusnya segera setelah bencana gempa terjadi, evakuasi korban harus dilakukan dengan cepat dan korban langsung mendapat penanganan medis.

“Akhirnya korban ada yang meninggal atau ada yang diamputasi karena telat ditemukan,” ujar Rikza kepada Kompas.com.

Alat bernama Detector of Interconnected Position Points (Deoterions) karya mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang.Dokumentasi tim Deoterions Alat bernama Detector of Interconnected Position Points (Deoterions) karya mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Untuk menghindari timbulnya lebih banyak korban, diperlukan teknologi yang bisa mempermudah evakuasi. Namun, minimnya teknologi itulah yang menjadi kendala di lapangan.

Meskipun tim Search and Rescue (SAR) telah menggunakan teknologi ketika mengevakuasi korban, misalnya alat berat dan life locator, tetapi peralatan itu belum bisa membantu untuk menyelamatkan semua korban.

Selain itu, di luar negeri telah ada teknologi canggih untuk mempermudah evakuasi korban, yaitu Finder dan Life Locator TRx. Alat itu mampu mendeteksi detak jantung korban yang ingin ditemukan. Namun, saat ini kedua alat itu belum digunakan di Indonesia tanpa alasan yang pasti.

Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia pun sudah membuat regulasi tentang standar rancang bangunan anti-gempa untuk mengurangi risiko ambruknya suatu bangunan jika terjadi gempa bumi.

Akan tetapi, kenyataannya masih banyak bangunan yang ambruk setelah terjadinya gempa bumi. Ini berarti penghuni bangunan belum bisa dijamin aman saat gempa bumi terjadi.

Maka dari itu, kesiapan menghadapi gempa perlu dilakukan, apalagi gempa bukanlah bencana alam yang dapat diperkirakan sebelumnya. Kesiapan itu bertujuan menyelamatkan penghuni bangunan jika bangunan ambruk akibat gempa bumi.

Percepat penemuan korban

Sehubungan dengan itu, Rikza dan dua orang temannya melakukan inovasi dengan menciptakan alat bernama Detector of Interconnected Position Points (Deoterions).

Alat yang berbentuk kartu ini dibuat untuk mempermudah evakuasi dalam menemukan posisi korban yang tertimbun puing-puing bangunan ambruk akibat gempa.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau