KOMPAS.com- Faktor kesehatan, khususnya kehatan mental, menjadi tantangan besar bagi Presiden Joko Widodo yang memfokuskan penguatan SDM di periode kedua pemerintahannya.
Hal ini mendorong Harvard Club Indonesia (HCI), forum alumni Universitas Harvard di Indonesia menggelar diskusi mengupas berbagai tantangan dan pendekatan untuk membenahi sektor kesehatan Indonesia.
Kegiatan diadakan di Gedung Nusantara DPR RI bertepatan dengan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia di hari Selasa (10/9/2019) dengan menghadirkan beberapa pembicara utama di antaranya; Nova Riyanti Yusuf (Komisi IX DPR-RI), Nurul Luntungan (lulusan T.H. Chan School of Public Health 2013-2014), dan Izhari Mawardi (Yayasan Kemitraan Kerja dan lembaga konsultan Ernst & Young Indonesia).
Melli Darsa, Presiden Harvard Club Indonesia menyatakan diskusi merupakan kontribusi Havard Club Indonesia (HCI) kepada Indonesia melalui sumbangan pikiran, masukan, dan kritik membangun sehingga dapat menjadi mitra pemerintah guna menghasilkan gagasan yang baik demi kemajuan Indonesia.
Baca juga: Studi Harvard Buktikan, Pola Asuh Religius Baik untuk Kesehatan Mental Anak
“Kami memilih topik kesehatan untuk menggali lebih dalam potensi dan tantangan sektor kesehatan yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi periode dua karena HCI yakin kesehatan menjadi pra-syarat dalam menghasilkan manusia-manusia Indonesia unggul dan berdaya saing global,” ujar Melli dalam sambutan.
Nova Riyanti Yusuf atau yang akrab disapa Noriyu dalam paparannya menyoroti masalah kesehatan kejiwaan yang juga harus menjadi salah satu fokus pemerintahan Jokowi periode kedua.
Menurut psikiater profesional ini, isu mengenai masalah kejiwaan dan mental sudah memasuki masa kritis karena sudah menjangkit anak-anak muda di Indonesia namun belum banyak menjadi prioritas pemerintah saat ini.
Mengutip data World Economic Forum (WEF, 2016), Noriyu menyampaikan penyakit mental (mental illness) menjadi penyakit ke-2 tertinggi setelah jantung (cardiovascular) di Indonesia yang berpotensi besar mengurangi GDP Indonesia.
“Negara ini akan tumbuh menjadi negara maju jika SDM-nya berkualitas. Berkualitas secara fisik dan intelegensia serta kejiwaannya, itu kalau kita mau kejar generasi emas 2045. Kita juga membutuhkan sebuah visi kesehatan yang adaptif dan komprehensif mencakup hingga kesehatan kejiwaan," ujar Noriyu.
Ia menyampaikan saat ini Indonesia sudah punya UU Kejiwaan sejak tahun 2014. "Undang-undangnya sudah ada, tinggal implementasinya saja," tegas visiting scientist Harvard Medical School, Departement Social Health & Global Medicine tahun 2015.
Ironinya, pendidikan vokasi SMK yang digadang-gadang menjadi fokus penguatan SDM justru menghadapi problem pelik: Pelajar di SMK mempunyai resiko 2 kali lipat mengalami problem emosional dibandingkan siswa sekolah umum (Yusuf N Prasetyo, 2016).
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Noriyu bersama Kementerian Kesehatan di mana ditemukan sejumlah persoalan yang harus dihadapi siswa SMK:
1. Penyakit fisik: Jaundice (sakit kuning), hepatitis, vertigo, infeksi paru, batuk/muntah darah, kelelahan.
2. Stressor psikososial kekhawatiran masa depan: masih banyak ingin kuliah, tidak yakin mendapatkan pekerjaan.
3. Masalah ekonomi keluarga: pendapatan orangtua rendah, tidak mempunyai kamar sendiri/privasi untuk belajar, kendaraan umum/motor memulai hari pukul 04.00 dan kembali pukul 19.00.