Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahasiswa China Kesulitan di Amerika, Peneliti Indonesia Harus Ambil Kesempatan

Kompas.com - 10/10/2019, 23:52 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kemenristekdikti mendorong mahasiswa dan peneliti Indonesia untuk memanfaatkan kebebasan Indonesia dalam memberikan pelatihan di luar negeri demi terciptanya lebih banyak inovasi di perusahaan dalam negeri.

"Mahasiswa RRC sekarang kesulitan di Amerika untuk mendapatkan visa, maka Anda harus bisa mengambil kesempatan ini dan memperoleh manfaat. Apa yang terjadi di perang dagang Amerika dan China, justru Thailand dan Vietnam, yang lain yang mengambil manfaat itu, termasuk kerja sama penelitian," ungkap Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (SDID) Ali Ghufron Mukti.

Dirjen SDID menyemangati alumni Research and Innovation in Science and Technology Project (RISET-Pro) Non Gelar saat membuka Simposium SDM Iptek Kelas Dunia Capacity Building untuk Peningkatan Daya Saing Global di Jakarta pada Rabu (9/10/2019).

Program RISET-Pro ini memiliki empat komponen saling berkaitan, yakni (1) peningkatan kerangka kerja kebijakan inovasi dan kinerja lembaga litbang Iptek, (2) penguatan sistem pendanaan riset, (3) beasiswa program gelar dan non-gelar, dan (4) dukungan manajemen untuk seluruh komponen.

Kendala pendanaan riset

 

Ali Ghufron lebih lanjut mendorong para alumni untuk berpartisipasi dalam pengembangan inovasi di perusahaan dalam negeri.

"Kami berharap Anda berkontribusi inovasi penelitian yang nanti kami biayai sebagian dan sebagian Anda bisa kerja sama dengan perusahaan yang perusahaan itu kalau melakukan penelitian bisa dapat tax deduction sampai 300 persen," ujar Dirjen Ghufron.

Baca juga: Kemenristekdikti Siap Tambah Dana untuk Tingkatkan Penelitian

Dirjen Ghufron mengungkapkan, peningkatan kualifikasi peneliti dan perekayasa di Tanah Air kerap terkendala oleh keterbatasan anggaran.

Oleh sebab itu, pada simposium ini juga dibahas mengenai pendanaan riset. Adapun salah satu kebutuhan yang mendesak adalah melepaskan ketergantungan pendanaan riset pada APBN yang mendominasi lebih dari 75 persen sumber pendanaan riset di Indonesia.

“Dengan adanya program karyasiswa Riset-Pro, diharapkan para alumni memperkuat kapasitas keilmuan dan mengembangkan jejaring risetnya untuk dapat memperluas sumber pendanaan risetnya, dari berbagai sumber pendanaan dari luar negeri, dalam negeri, hingga swasta, jadi tidak hanya bergantung pada lembaganya sendiri atau Kementerian,” terangnya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Pansus UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) DPR RI Andi Yuliani Paris menjelaskan, adanya UU Nonor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas diharapkan mampu menaikkan anggaran bagi pembangunan SDM Iptek dan Dikti.

Ia menilai, pada pengelolaan beasiswa bagi para dosen, peneliti, dan perekayasa harus turut melibatkan Kemenristekdikti sehingga tidak serta-merta diserahkan kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

“Karena Kemenristekdikti yang paling mengerti kebutuhan peneliti serta dosen, dan langsung bersinggungan dengan perguruan tinggi. Jadi menurut saya untuk beasiswa juga harus dilibatkan supaya alokasinya terarah,” ucapnya.

Riset kesehatan sampai dirgantara

Paris mengakui persyaratan beasiswa studi lanjut yang diterapkan LPDP memang sedikit menyulitkan para dosen.

"Hal ini menyebabkan presentase dosen dan peneliti yang sekolah dengan beasiswa LPDP tidak banyak. Mereka lebih memiliki skema yang ditawarkan oleh Kemenristekdikti yang dikelola oleh Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti,” imbuh Yuliani.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com