Rudiantara: Menata Ulang Dunia Harus Dibawa dalam Konteks Indonesia

Kompas.com - 11/10/2019, 18:14 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pendekatan dalam pembelajaran di sekolah untuk mempersiapkan anak-anak agar menghadapi masalah masa mendatang dirasakan perlu diubah.

Perubahan dalam bentuk desain ulang itu harus dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan dasar berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, yaitu berkaitan dengan perkembangan sosial-emosional, teknologi, dan berpikir.

Keterampilan ini harus dimiliki anak karena mereka belum mengetahui masalah apa yang akan terjadi di dunia pada masa mendatang, termasuk masalah berhubungan dengan pekerjaan, lingkungan hidup, dan teknologi.

Maka dari itu, mendesain ulang pendidikan itu harus dilakukan sebagai salah satu upaya menghadapi masalah yang kompleks di dunia ini, lalu disesuaikan dengan konteks di negara masing-masing.

Pendidikan menjadi fokus

Redesign the world itu tema global yang harus dibawa konteksnya ke Indonesia, apa yang harus di-redesign. Pertama, pendidikan itu jadi fokus,” ujar Rudiantara dalam pembukaan Konferensi Tahunan ke-9 HighScope Indonesia, Kamis (10/10/2019) di Jakarta.

Baca juga: Tingkatkan Nilai Tambah Indonesia, DPR Dorong Pendidikan di Indonesia Berikan Keahlian

Ia mengatakan, dalam undang-undang disebutkan bahwa pemerintah harus menyediakan anggaran 20 persen APBN untuk sektor pendidikan. Hal itu menunjukkan perhatian dan kepedulian pemerintah dalam pendidikan.

Anggaran sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Selain itu, bisa juga digunakan untuk pendidikan yang berhubungan dengan teknologi memasuki era digitalisasi, atau yang dikenal dengan industri 4.0.

Hal itu bisa dilihat dari perusahaan rintisan digital (startup) yang banyak bermunculan belakangan ini, termasuk startup yang bertema edukasi.

“Itu bisa menunjukkan kita concern pada pendidikan. Ini juga bisa jadi peluang bagi anak-anak muda Indonesia, terutama yang startup itu, untuk bisa menjadi edutech,” ucap Rudiantara.

Pembelajaran berbasis teknologi

Dalam kesempatan sama, CEO HighScope Indonesia Antarina SF Amir mengatakan pentingnya membekali kemampuan kepada anak-anak dan mempersiapkan mereka menghadapi berbagai masalah dan perubahan di dunia, misalnya perubahan lingkungan hidup dan populasi dunia.

Pemecahan masalah itu bisa dilakukan antara lain menggunakan teknologi sesuai perkembangan zaman. Seperti diketahui, memasuki era digitalisasi industri 4.0, ada beberapa hal yang semakin sering digunakan, misalnya big data, data analytics, dan internet of things.

Seharusnya anak-anak diajarkan memecahkan masalah dengan memanfaatkan berbagai kecanggihan teknologi tersebut.

“Ada kemampuan menguasai teknologi dan analisis membaca data. Harusnya kita mampukan anak-anak untuk memecahkan masalah. Istilahnya technology based learning, bagaimana teknologi digunakan untuk pecahkan masalah, termasuk problem iklim dan populasi,” tutur Antarina.

Baca juga: Rudiantara: Mendorong Pendidikan Islam Jadi Ekosistem Besar Penangkal Hoaks

Menurutnya, anak-anak tidak hanya diberi kemampuan untuk belajar, tetapi juga dibuka wawasannya sehingga bisa menyesuaikan diri terhadap berbagai masalah di dunia dan bermacam tantangan yang belum diketahui akan terjadi pada masa mendatang.

Kemampuan empati dan kolaborasi

“Mereka (anak-anak) bukan hanya diberikan knowledge, tapi agile mindset, pikiran yang terbuka dan adaptable untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah di dunia yang ada saat ini dan akan datang dengan segala macam challenge yang tidak bisa diantisipasi sekarang,” jelasnya.

Dengan begitu nantinya saat dewasa mereka akan bisa berpartisipasi mendesain ulang segala hal sehingga berbagai masalah dan kekacauan di dunia selama ini dapat dihindari, termasuk konflik menyangkut perbedaan latar belakang kehidupan dari berbagai sisi.

Terkait penggunaan teknologi, Antarina pun menuturkan hal yang harus diperhatikan yaitu pemanfaatannya harus disertai dengan kemampuan olah rasa. Sebab, manusia mempunyai pikiran dan perasaan, itulah yang membedakannya dengan teknologi.

“Anak-anak harus diajarkan juga empati dan kolaborasi. Itu yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Makanya, mari kita resedign the world bersama anak-anak untuk mengantisipasi problem dunia. Saya juga minta kepada guru-guru untuk berkomitmen melakukan desain ualng dengan menyiapkan anak-anak itu,” jelas Antarina.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau