Tidak hanya dicantumkan di kurikulum, tapi juga dipastikan pelaksanaannya dinas-dinas setempat. Materi ini dapat diperkenalkan secara garis besar ketika SMP, lalu diperdalam di jenjang SMA. Selebihnya, akan lebih baik lagi jika bisa ditekankan lebih lanjut di bangku kuliah, dimana mahasiswa mendekati usia siap nikah.
Idealnya, akan lebih baik jika masyarakat dapat menerima pendidikan seks komprehensif di sekolah, lalu tetap mengikuti kelas pranikah karena akan ada materi eksklusif yang lebih pantas diberikan kepada calon mempelai.
Dalam 100 hari pertama Mendikbud Nadiem Makarim yang digunakan untuk mendengar aspirasi murid dan pendidik di Indonesia, Nadiem perlu mengkaji lagi implementasi serta eksekusi pendidikan seks di Indonesia yang belum terlaksana secara maksimal.
Dalam proses pengkajian ini, Nadiem perlu menitikberatkan kewajiban pendidikan seks yang holistik dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, juga melakukan pembekalan kepada guru agar dapat memberi ilmu inklusif dan cocok dengan keanekaragaman agama dan adat budaya siswa-siswi di Indonesia.
Sambil berjalan, Kemenko PMK perlu tetap mengadvokasi kepentingan sekolah pranikah, terutama bagi mereka yang menikah di usia di bawah yang dipersyaratkan UU Perkawinan (19 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dan yang berasal dari daerah di mana sekolah masih jarang memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi kepada murid.
Selain itu, perbincangan mengenai pendidikan seks tentu perlu mengundang peran aktif orangtua yang memiliki peran terbesar dalam pendidikan anak.
Jika orangtua, guru, dan masyarakat secara menyeluruh bisa menyatukan sikap dan suara mengenai pendidikan seks dan cara tepat mengkomunikasikannya, normalisasi pembahasan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi akan mudah diterima semua dengan berjalannya waktu.
Penulis: Zhafira Aqyla S. S.
Human Sciences International Undergraduate Degree Program, Osaka University