Program Pintar
Praktik baik dan gagasan pendidikan

Kolom berbagi praktik baik dan gagasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kolom ini didukung oleh Tanoto Foundation dan dipersembahkan dari dan untuk para penggerak pendidikan, baik guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, dan pemangku kepentingan lain, dalam dunia pendidikan untuk saling menginspirasi.

100 Hari Nadiem Makarim, Merdeka UN tapi Belum Merdeka Beban Belajar

Kompas.com - 31/01/2020, 18:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dion Ginanto, Ph.D

KOMPAS.com - Saat jam istirahat, saya berbincang dengan salah satu siswi di sekolah tempat saya mengajar.

Siswi tersebut saat ini tengah duduk di bangku kelas XI. Sambil diiringi dengan canda dan obrolan ringan, saya bertanya kepada Ratna (bukan nama asli) tentang rencana penghapusan Ujian Nasional.

Dalam benak saya, pasti Ratna akan setuju seperti halnya teman-temannya yang saat ini duduk di kelas XII. Mayoritas kelas XII iri dengan adik-adiknya yang kelak tidak akan mengikuti Ujian Nasional.

“Saya setuju Ujian Nasional tetap diadakan Sir,” ujarnya. Sebagai guru bahasa Inggris, Sir dan Mr adalah sapaan yang siswa tautkan kepada saya.

Dengan heran dan penuh tanda tanya, saya kembali menanyakan kenapa Ratna malah setuju dengan ide Ujian Nasional.

Ratnapun menjawab, kalau boleh memilih, ia lebih memilih beban belajar siswa dikurangi ketimbang Ujian Nasional dihapuskan.

Sensasional "Merdeka UN"

Ratna bahkan membandingkan negara-negara yang siswanya hanya dibebankan enam sampai tujuh mata pelajaran satu minggu. Sedangkan dia dan kawan-kawan harus berjibaku dengan mempelajarai 14 mata pelajaran setiap pekan.

“Kami bahkan kehilangan waktu untuk sekedar bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman, apalagi jika dalam sehari ada empat guru yang memberi PR. Maka tamatlah pula waktu kami untuk bercengkrama dengan keluarga.”

Saya terdiam, sebenarnya dari dulu saya merasa prihatin dengan banyaknya mata pelajaran yang harus siswa terima. Namun, baru kali ini saya mendegar langsung curhatan dari seorang siswa, yang tidak sengaja terungkap dari topik Ujian Nasional.

Alih-alih merayakan euphoria bahwa ia akan terbebas dari Ujian Nasional yang sensasional, Ratna lebih memilih bertahan karna ingin terbebas dari beban yang lebih berat yakni beban mata pelajaran yang terkesan tak rasional.

14 mata pelajaran

Setelah mengakhiri perbincingan ringan namun serius, saya mengintip jadwal siswa di meja piket guru.

Saya tambah terkejut, ada beberapa kelas yang karena kendala pembagian jam mengajar, harus mempelajarai 5-6 mata pelajaran dalam satu hari.

Idealnya jika dalam satu hari (8 jam) maka, dengan asumsi satu mata pelajaran dua jam, maka siswa akan belajar 4 mata pelajaran dalam satu hari. Namun, rupanya ada beberapa mata pelajaran yang harus di split menjadi satu jam saja, sehingga mereka akan belajar 5-6 pelajaran dalam satu hari.

“Jadi jangan salahkan kami Sir, kalau kami bahagia sekali kalau ada jam kosong. Karena ini adalah satu-satunya cara bagi kami untuk mencuri waktu bermain dan berbahagia dengan teman-teman kami.”

Kalimat terakhir yang Ratna sampaikan sejenak sebelum berpisah. Saya pun mengamini. Pada saat saya dulu sekolah yang tidak sebanyak saat ini saja, kami sangat menikmati jam kosong, apalagi saat ini siswa dengan 14 mata pelajaran.

Bahagia "jam kosong"

Tidak heran jika Indonesia duduk di peringkat pertama pada siswa yang paling Bahagia di dunia (Laporan PISA 2012). Akan tetapi PISA 2012 mengungkap bahwa kebahagiaan siswa tidak diiringi dengan hasil tinggi pada survei internasional di bidang kemampuan baca, sains, dan metematika.

Pranoto (2013) mengungkapkan bahwa siswa di Indonesia masih lemah dalam hal analisis dan berfikir tingkat tinggi.

Siswa cenderung diajarkan menghafal. Akan tetapi meski dibebaani dengan menghafal, siswa cenderung bahagia karena salah satunya dipengaruhi oleh seringnya guru yang terlambat atau tidak hadir di sekolah.

Laporan dari ACDP Indonesian (2014) yang melakukan penelitian di hampir seluruh provinsi di Indonesia, menemukan bahwa tingkat ketidakhadiran guru mencapai 10 persen.

Bukan kebahagiaan yang diiringi dengan prestasi tinggi seperti halnya siswa di Finlandia. Atau bukan kebahagiaan karena merayakaan kemerdekaan belajar bersama teman dan guru di sekolah.

Alih-alih bahagia yang berbanding positif dengan prestasi, siswa di Indonesia bahagia karena merayakan seringnya jam kosong di sekolah.

Peminatan, kejar jam mengajar

Jika target utama Pak Nadiem saat ini adalah untuk memerdekakan siswa dan guru dalam proses belajar mengajar; maka Pak Nadiem dan jajarannya nampaknya harus mulai memikirkan Pekerjaan Rumah yang diutarakan oleh Ratna di sekolah kami.

Pemerintah juga harus segera mengurangi beban mata pelajaran yang berjumlah 14 itu.

Lalu mungkin ada pertanyaan, kalau begitu pasti ada mata pelajaran yang akan dihapus? Bagaimana dengan nasib gurunya?

Sebenarnya belajar dengan jumlah jam tinggi ini salah satunya adalah untuk menjawab persyaratan guru harus mengajar 24 jam seminggu.

Karena banyak guru yang kekurangan jam mengajar maka dibuatlah kelas peminatan; sebagai contoh siswa harus belajar Matematika Wajib dan Matematika Peminatan; Bahasa Inggris Wajib dan Bahasa Inggris Peminatan; Ekonomi dan Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU).

Jika pemerintah membolehkan sebenarnya kekurangan jam mengajar, dapat saja diberikan solusi dengan satu mata pelajaran diampu oleh dua guru.

Misalnya Bahasa Inggris mempunyai dua guru, sehingga di kelas siswa akan lebih mudah belajar, karena akan ada dua instruktur yang membantu dan melayani mereka ketika mereka membutuhkan bantuan.

Kelas Ekonomi dan Pendidikan Kewirausahaan juga bisa bergabung karena dua mata pelajaran itu sangat terkait dan bersinggungan.

Ide satu pelajaran diampu dua guru tentu dapat menyelesaikan masalah guru yang kekurangan jam mengajar.

Hapus UN dan meringankan beban belajar

Dion Ginanto, Ph.D, Pemerhati Pendidikan dan Guru SMAN 1 Batang Hari, Jambi.DOK. TANOTO FOUNDATION Dion Ginanto, Ph.D, Pemerhati Pendidikan dan Guru SMAN 1 Batang Hari, Jambi.
Tentu hal ini juga menjadi alternative solusi bagi sekolah yang mempunyai rombongan belajar (rombel) kecil, gurunya tak perlu susah payah melamar ke sekolah lain untuk sekedar memenuhi tuntutan sertifikasi yang harus mengajar 24 jam satu minggu.

Ide ini berbeda dengan ide Mantan Mendikbud Muhadjir Effendy yang merekomendasikan satu guru mampu mengajar dua mata pelajaran yang berbeda.

Ide Pak Muhadjir sempat mendapat penolakan, karena akan membebani guru yang tidak menguasai mata pelajaran lain.

Akan tetapi jika satu mata pelajaran diampu oleh dua guru, maka guru tersebut tidak akan merasa terbebani, namun sebaliknya terkesan mendapat keringanan. Satu pelajaran dua guru juga akan meningkatkan kolaborasi antara guru semata pelajaran atau guru serumpun.

Saya yakin dan percaya, guru-guru di Indonesia akan setuju dengan ide ini. Karena sedikit jam mengajar dapat berpengaruh pada kreatifitas ide dan inovasi guru dalam mengajar.

Sehingga nantinya guru tak lagi melulu mengajar untuk memenuhi tuntutan kurikulum, melainkan guru dapat lebih merdeka dalam memupuk dan menemukan bakat terpendam siswa kemudian dengan tangan dinginnya, mengarahkan pada aktifitas yang tepat.

Saya selalu mendukung ide dan gagasan progresif dari Bapak Nadiem, semoga Merdeka Belajar benar-benar dirasakan hingga ke pelosok tanah air dengan menghapus UN dan mengurangi beban mata pelajaran siswa.

Penulis: Dion Ginanto, Ph.D, Pemerhati Pendidikan dan Guru SMAN 1 Batang Hari, Jambi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau