KOMPAS.com - Pimpinan, pesohor dan tokoh pendidikan Indonesia, yang selama ini terkesan memberi pendapat sangat buruk terhadap kegiatan alam terbuka dari jenjang SMP/MTs (Sispala) hingga Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) di berbagai Kampus, dengan kejadian hanyutnya siswa SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta, maka mereka akan semakin berpendapat bahwa kegiatan di alam terbuka sangat berbahaya dan tak berguna, sehingga akan berdampak ke pelarangan dan kegiatan yang sangat bagus ini menjadi ilegal tak masuk daftar kegiatan ektra kurikuler (Ekskul).
Meski Pramuka tidak dikesankan seperti Mapala/Sispala sebagai sosok murid/mahasiswa brengsek yang kumuh, tak disiplin, enggan patuh dan pembolos serta semua label buruk bisa disematkan kepada mereka.
Tetapi, betulkah demikian? Alm. Profesor Sujudi Rektor Universitas Indonesia (UI) pernah mengatakan bahwa sumbangan Mapala UI kepada citra baik UI jauh melebihi apa yang seharusnya mereka lakukan.
Ketika dalam Kongres Pancasila ke IX di Jogja akhir Juli 2017 dinyatakan sangat pentingnya sebuah kurikulum yang mampu menjadi acuan mendidik anak bangsa menjadi Pancasilais, mampu mempraktekkan Pancasila sebagai pengikat semua kebhinekaan di Indonesia (Latief, 2017).
Presiden Jokowi pasti langsung teringat bagaimana sebagai Pendaki Gunung berproses menjadi manusia Indonesia yang merdeka, ketika bertualang di alam terbuka dengan kendaraan organisasi Mapala.
Pramuka/Sispaka/Mapala sebagai organisasi kesiswaan/mahasiswaan, selalu menyediakan diri sebagai cawan pelebur kebhinekaan siswa/mahasiswa dalam spektrum yang sangat luas.
Mulai dari gender, keyakinan agama, prodi yang dipilih, asal suku, strata sosial hingga etnis, melebihi spektrum SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) yang dipopulerkan rejim Orba.
Di organisasi ini, sangat sering semua identitas di atas tak dikenal, apalagi dipertentangkan karena dalam praktek memang nyaris tak pernah dibicarakan.
Pramuka/Sispala/Mapala melebur mereka dalam sebuah ikatan kemanusiaan yang saling menghormati keberagaman yang mereka miliki.
Bahkan, tidak hanya dunia kesiswaan/mahasiswa yang ikut terjun dalam cawan pelebur ini, tetapi warga dari organisasi sejenis seperti Wanadri, korps penolong bencana dan kelompok Pencinta Alam lain seperti Kerabat Pencinta Alam, hingga institusi yang dalam prosesnya memerlukan kurikulum "petualangan" seperti Tentara dan Polisipun akan terikat menjadi satu ikatan manusia merdeka yang berbangsa Indonesia.
Meski prinsip utama kegiatan petualangan ini adalah kemerdekaan, tetapi prinsip lain yang wajib pula dipraktekkan dalam kegiatan yang pada dasarnya berbahaya seperti ini adalah memahami keamanan (safety) dan perilaku alam untuk akhirnya menyikapi dengan bijak.
Jika prinsip tersebut dipraktekan dengan benar, maka kecelakaan yang terjadi akan nihil, sehingga petualangan akan bisa dinikmati dan alam akan menjadi guru yang paling baik seperti kata bijak "alam takambang menjadi guru".
3 (tiga) kata itu sangat dikenal di dunia kepramukaan dan dipraktekkan dalam dunia kepencintaalaman, khususnya Sispaka/Mapala.
Hemat di sini lebih dari sekedar nilai ekonomis tetapi juga hemat dalam bersikap di alam terbuka. Tergopoh gopoh tidak akan menghemat energi tubuh dan boros gerak sehingga cepat lelah, padahal sangat sulit memperoleh asupan energi normal di alam terbuka.
Sikap ceroboh sangat berbahaya, sehingga cermat dalam menyikapi sifat alam mutlak dipakai. Tekanan udara, suhu, kecepatan angin, derasnya arus sungai dan semua petunjuk alam wajib difahami dan disikapi dengan bijak.
Bersahaja adalah sifat yang semakin luntur dalam hidup keseharian, padahal kebersahajaan dalam bertualang akan meringankan kehidupan.
Uap air yang keluar saat air mendirik dapat dipakai menjadi "air" untuk "mencuci" piring kotor dengan usapan tisu dan kepraktisan lain dalam penggunaan peralatan bertualang serta sikap kepada Alam akan melatih kebersahajaan dalam kehidupan sehari hari.
Hemat, Cermat dan Bersahaja adalah proses menuju kemandirian sikap dalam hidup.
Mahasiswa dan Siswa yang terlatih menjadi petualang yang benar di alam bebas, biasanya akan percaya diri dan merdeka memilih cara hidup dan kehidupan dan sulit untuk dirayu mengikuti kehidupan yang tak patut.
Lancung, lacur dan semua sikap yang jauh dari kebaikan akan sulit menghinggapi manusia merdeka dan mandiri seperti ini. Karena, kesulitan dalam petualangan meyakinkannya bahwa cobaan dan rayuan seberat apapun akan bisa dilewati, karena resiko di alam adalah mati.
Anggota Pramuka pasti hafal darma ke 10 (sepuluh) dari Dasa Darma Kepanduan yaitu: "Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan" juga akan menjadi dampak positip dari berkegiatan alam terbuka, meski dalam praktek, mulut pegiat sispala/mapala kadangkala "kotor dan cabul"
Adakah petualang yang pengecut? Petualang adalah manusia pencatat sejarah, oleh sebab itu rasa takut seringkali terlupakan, meskipun di kala sendirian mereka sering merasakannya.
Petualang sejati adalah mereka yang menyisakan sedikit rasa takut, sehingga terbebas dari sikap nekat. Ketakutan akan mengendalikan dan memunculkan kecermatan.
Petualang Pencinta Alam dan Pramuka selayaknya berani melawan kesewenangan kepada kemanusiaan dan semua sikap yang menghancurkan kemanusiaan dan alam semesta.
Manusia petualang yang terdidik di Kelompok Pencinta Alam dan Pramuka sudah semestinya menjadi manusia yang berani melawan korupsi, eksploitasi alam, penindasan pada kemanusiaan dan semua hal buruk lain.
Petualang Pencinta Alam dan Pramuka adalah manusia (muda) merdeka, pemberani yang senang menggauli pelosok Indonesia, akan menjadi manusia mandiri dan berani yang tulus mencintai Indonesia tanpa banyak cingcong dan apa adanya, "they love Indonesia just the way she is" dan akan menjadi patriot paling depan membela bangsa tanpa disuruh, mereka akan mempraktekan kecintaan "bi amwalikum wa amfusikum", dengan harta dan nyawa.
Lantas, mengapa hasil proses "pendidikan" Kepencintaalaman dan Kepramukaan yang dahsyat seperti itu seringkali dipersepsikan buruk oleh para akademikus dan pinisepuh serta pakar Pendidikan?
Mungkin, karena para Sispala/Mapala/Pramuka dan pegiat petualangan alam terbuka yang lain itu seringkali memunculkan simbol simbol dan perilaku yang tak lazim dan lingkungannya sulit menerima.
Mungkin pula, mereka belum sampai "maqom" seorang petualang sejati yang di kala dewasa akan menampilkan kerendahan hati yang menakjubkan.
Ketika Presiden Indonesia adalah seorang yang pernah merasakan pendidikan di alam, maka sudah selayaknya kegiatan petualangan di alam terbuka ini menjadi menu wajib kegiatan kepemudaan, termasuk kegiatan siswa dan mahasiswa yang potensial menjadi pemimpin bangsa, tidak sekedar hanya program pengenalan bela negara dan program pendidikan karakter lain yang cenderung membosankan karena mencekoki mereka, bisakah ?
Penulis: Ahmad Rizali, Ketua Bidang Pendidikan NU Circle dan Anggota Mapala UI (M-193-UI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.