KOMPAS.com - Sejak awal saya curiga sumber buruknya mutu pendidikan di Indonesia yang diukur PISA, TIMSS dan PIRS serta AKSI/AKM Puspendik Balitbang Kemdikbud merupakan cerminan dari buruknya proses pembelajaran di jenjang SD/MI.
Dan sesudah setahun lebih mengikuti Gernas Tastaka (Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika) ke 12 Provinsi dan 21 lokasi Pelatihan Gerakan dan mendengar "curhat" dan curah pendapat pengalaman para guru SD/MI, dugaan saya mendekati kebenaran.
Jika kita cermat membaca data Neraca Pendidikan Daerah (npd.data.kemdikbud.go.id) sejak Tahun 2015 hingga saat ini, jenjang SD/MI memiliki jumlah murid, sekolah dan guru yang paling besar.
Namun semua indikator terburuk seperti level akreditasi, kondisi kelas dan sekolah, mutu guru, kualifikasi guru hingga rasio guru dan murid, semua menunjuk ke jenjang SD (dan MI).
Baca juga: 7 Alasan Anak Sosial Perlu Kuasai Matematika Dasar
Hal ini menunjukkan bahwa kita kurang peduli kepada jenjang SD/MI dan jika hal yang terlihat saja masih seperti itu, apalagi persoalan kompetensi guru jenjang SD/MI, nyaris tidak pernah disentuh.
Mengapa kita begitu abai kepada jenjang SD/MI ini?
Tak lain karena umumnya pejabat pembuat kebijakan merasa tidak menemukan masalah di jenjang ini.
Tingkat tinggal kelas semakin sedikit, peserta olimpiade dan lomba sejenis semakin marak dan akhirnya sudah terbentuk persepsi bahwa "pelajaran SD/MI yg begitu saja pasti bisa ketika lulus SD/M".
Terjadi sikap "taken for granted" bahwa ketika mereka 6 (enam) Tahun di SD/MI, maka Kompetensi Dasar (KD) yang diwajibkan Kurikulum tuntas dikuasai, fakta mengatakan sebaliknya.
Fakta buruknya kompetensi matematika, sains dan Mmembaca murid Indonesia diakui resmi oleh negara, sehingga hasil uji PISA dan AKSI/AKM Balitbang Kemdikbud dijadikan baseline salah satu target pencapaian Mutu Pendidikan Dasar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
RPJMN ini menjadi acuan Rencana Strategis (Renstra) 2019-2024 Kementrian dan Lembaga. RPJMN adalah rincian Visi/Misi Presiden masa bakti 2019-2024.
Selain hasil PISA "membaca" Tahun 2018 yang kembali ke angka 371 dari rerata negara OECD sekitar 500, angka di Tahun 2000.
Trend hasil Matematika dan Sains di jenjang anak usia 15 Tahun ini juga memburuk, semua menjauhi angka 400 yang pernah diraih. Rerata hasil PISA masih 78 persen didominasi pada skala 1-2 dari 6 skala yang digunakan PISA.
Sebuah angka persentase yang seharusnya tak lebih dari 20 persen.
Studi PISA dan AKSI itu menemukan pembenaran di lapangan saat penulis mengikuti Pelatihan untuk Pelatih (TOT) Matpel Matematika jenjang SD/MI yang diselenggarakan oleh Gernas Tastaka di 12 Provinsi dan 21 Lokasi Pelatihan dengan total relawan guru mendekati 800 peserta dan 95 persen adalah guru SD/MI.
Guru kelas 5 dan 6 selalu mengeluh karena beban "memintarkan" murid pada pelajaran Matematika tertimbun di pundak mereka.
Karena waktu yang hanya tersisa setahun dua tahun dan dihantui kelulusan, maka para guru hanya akan melakukan "drilling" alias berlatih menyelesaikan soal-soal.
Harapannya ketika UAS dan mereka mampu menjawab, maka dianggap kompeten dalam materi pecahan, persen, geometri dan pengukuran hingga statistik sederhana.
Fakta berbicara sebaliknya. Anggapan "taken for granted" tidak benar, karena sebuah survai yang tidak diterbitkan dari 2.600-an murid SD di sebuah provinsi menyatakan 7 dari 10 murid kelas 5 dan 6 dari SD sampel tersebut menjawab soal 3/4 + 3/4 dengan jawaban 6/8.
Hal ini cocok dengan hasil survai IFLS Tahun 2016 yang menyatakan hanya 1 dari 10 murid usia 18 tahun menjawab benar soal 1/3 - 1/6.
Mereka tak faham bahwa 3/4 itu adalah 3 potong dari potongan 1 dibagi 4 dan 1/3 itu adalah dua "keping" 1/6. Sehingga alangkah horornya jika pecahan dioperasikan dalam kurang, kali dan bagi.
Mapel matematika jenjang SD/MI sejak kelas 1 hingga kelas 6 hanya diajarkan berlatih menjawab soal-soal yang sudah diketahui jawabannya dan tak ada penyelesaian masalah, koneksi matematika, komunikasi gagasan matematika.
Tidak terjadi penanaman konsep bilangan dan operasi, pengukuran, geometri dan statistik/probabilitas.
Baca juga: Skor PISA 2018: Daftar Peringkat Kemampuan Matematika, Berapa Rapor Indonesia?
Jadi, tak mengherankan jika matematika menjadi sesuatu yang wajib dihapalkan dan guru kelas yang pada dasarnya tak menyukai matematika hanya akan mengajar selintas dari kelas 1 hingga kelas 4 dan menyerahkan ke koleganya untuk menuntaskan di kelas 5 dan 6.
Jika kita masih membiarkan kondisi nyata di jenjang SD/MI masih seperti saat ini, maka saya yakin target RPJM 2019-2024 meskipun masih sangat rendah, tetap akan sulit dijangkau, apalagi target mendekati rerata negara OECD.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan wajib "mereparasi" pembelajaran matematika di semua kelas di jenjang SD/MI, tidak hanya membiarkan warga SD/MI menyerahkan tugas penuntasan konsep bermatematika hanya kepada guru kelas 5 dan 6, itupun jika ada guru yang kompeten.
Pembelajaran matematika, dan tentu membaca dan sains wajib diajarkan konsep dasarnya di semua tingkatan kelas sesuai dengan perkembangan kognitifnya.
Jangan teruskan mendidik murid agar menjadi cepat pandai dengan cara abstraksi manusia dewasa, apalagi dengan ukuran sukses murid terpandai, karena hasilnya akan sebaliknya, menambah manusia tak bernalar sehat.
Padahal, Tuhan memberi anugerah otak dengan potensi bernalar normal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.