Sebenarnya masyarakat menyadari bahwa ada standar baku dalam bahasa Indonesia. Namun, karena faktor kebiasaan, kata-kata tidak baku pun terkadang dianggap tidak ada masalah.
Sangat sedikit orang yang peduli pada kesalahan itu dan terdapat keengganan untuk menegur dan memperbaiki karena khawatir dianggap kaku dengan kebakuan bahasa.
Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan terhadap mahasiswa jurusan jurnalistik tentang alasan kesalahan berulang pada karya jurnalistik yang telah mereka buat dalam tugas kesehariannya sebagai calon jurnalistik.
Alasan pertama adalah karena kebiasaan. Mereka mengaku bahwa dalam berbahasa tulis seringkali kesalahan berulang ini karena kebiasaan yang sudah dilakukan sejak duduk di bangku sekolah, baik dasar, menengah pertama, maupun menengah atas.
Mereka juga merasa ada pembiaran, jarang mendapatkan teguran dari guru atau dosen. Pun jika ada, teguran itu berasal dari mata pelajaran atau mata kuliah yang berhubungan dengan bahasa Indonesia.
Selain itu, mereka juga menyadari bahwa lebih mudah mencontoh bahasa yang ada di media daring (yang belum tentu semua media menerapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar) dibanding harus membuka pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PUEBI) atau kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).
Baca juga: Memaknai Sumpah Pemuda dari Spirit Kewirausahaan
Hal ini berhubungan dengan jawaban kedua yang menyatakan bahwa kesalahan bahasa yang berulang ini karena ketidakpedulian.
Mereka malas membuka kaidah PUEBI atau KBBI yang diangap hanya buang waktu. Sungguh memprihatinkan!
Mereka lupa dengan janji menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang telah termaktub dalam Sumpah Pemuda. Mereka kurang ingat Sumpah Pemuda itu milik siapa.
Mereka luput Sumpah Pemuda itu dicetuskan oleh siapa. Mereka tak menyadari pengguna bahasa Indonesia yang paling banyak itu siapa? Mereka lupa bahwa semua jawaban ada di tangan mereka: pemuda-pemudi Indonesia.
Mereka kurang acuh pada tanggung jawab sebagai dengan selalu menerapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah inovasi kecerdasan buatan yang mampu menjadi pendamping pemuda-pemudi Indonesia, khususnya mahasiswa jurnalistik sebagai generasi muda yang akan mengunakan bahasa di media sebagai sarana pencerdas bangsa untuk selalu mampu melestarikan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Seri pertama dari dua tulisan dengan judul yang sama "Penapis Ejaan Otomatis: Saatnya Teknologi Berbahasa (2)"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.