KOMPAS.com - Kemudahan mengakses internet belum dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakannya dengan bijaksana. Terlebih dalam penggunaan media sosial.
Masih banyak konten-konten meresahkan hingga berita hoaks berseliweran di jagat maya. Baru-baru ini Polri resmi menjalankan program virtual police yang bertugas mengawasi konten di dunia maya termasuk media sosial.
Menilik program dari Polri ini, menurut Pakar Literasi Digital Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Novi Kurnia, kehadiran virtual police merupakan upaya pihak kepolisian untuk memoderasi konten-konten negatif di dunia maya. Terutama yang mengarah pada pelanggaran pidana.
Dr. Novi menilai aksi moderasi konten pada pengguna media sosial merupakan langkah baik.
Baca juga: Peneliti UGM Masih Kembangkan Artificial Intelligence dari GeNose
Namun begitu, kehadiran virtual police ini harus tetap memerhatikan sejumlah aspek dalam pelaksanaannya. Aspek yang dimaksud Dr. Novi mulai dari posisi, proses, transparansi, perlindungan data diri, hak pengguna digital hingga kolaborasi moderasi konten.
"Virtual Police sebagai sebuah aksi memoderasi ini bagus. Namun ada catatan-catatan yang harus dipertimbangkan seperti posisi untuk bisa menjaga netralitas, objektifitas, dan keadilan. Jangan terus interventif," terang Dr. Novi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (27/2/2021).
Dr. Novi mengungkapkan, ia belum mengetahui secara detail bagaimana virtual police bekerja dalam menjalankan pengawasan konten di dunia maya. Ia berharap nantinya dalam tugasnya, virtual police bisa netral dan berpihak untuk kepentingan umum. Bukan untuk kepentingan industri, kelompok besar, maupun pemerintah.
Baca juga: Wolbachia Efektif Tekan Angka Kasus DBD, UGM-WMP Raih Rekor Muri
Selain itu dalam proses pelacakan konten perlu disesuaikan dengan platform masing-masing media sosial. Penentuan sampel juga perlu diperhatikan apakah dengan sistem sampling atau sensus. Begitu pula dalam pelacakan akan dilakukan parsial atau pada seluruh konten.
Menurutnya, pihak kepolisian harus mensosialisasikan atau mengedukasi pengguna media tentang konten seperti apa yang dianggap sebagai konten negatif atau mengarah pada tindak pidana.
"Pengguna media wajib diberitahu konten seperti apa yang dianggap negatif," tandasnya.
Perlindungan data diri pengguna media sosial juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program pengawasan virtual police. Seperti data apa saja yang bisa dibuka, bagaimana jaminan perlindungan, dan mitigasi terhadap kebocoran data pribadi.
Baca juga: Epidemiolog UGM: Ada Potensi Varian Baru Virus Corona di Indonesia
Dr. Novi meminta pihak kepolisian agar tetap memerhatikan hak digital pengguna media sosial untuk menyuarakan aspirasi. Kehadiran virtual police diharapkan tak lantas mengekang masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di media sosial.
"Modelnya ini kan sistem peringatan, apakah dalam prosesnya mendapatkan hak baik sebelum dan sesudah dimonitor," papar Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital atau dikenal dengan Japelidi ini.
Dr. Novi menilai, aspek terakhir yang tidak kalah penting yakni kolaborasi dalam melakukan moderasi konten di media sosial. Kolaborasi menjadi hal harus dilakukan bersama dengan para pakar terkait.
Baca juga: Dosen UGM Kembangkan Spons Laut dan Minyak Atsiri sebagai Antiinfeksi
Kolaborasi ini, lanjut Dr. Novi, harus terus dibangun karena tidak hanya menjadi tanggung jawab virtual police saja.
"Semua pihak seperti lembaga pendidikan, masyarakat sipil dan pegiat literasi digital perlu berkolaborasi dalam bagian peningkatan kompetensi literasi digital masyarakat Indonesia," tutup Dr. Novi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.