KOMPAS.com - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang digagas Muhammad Nur Rizal menegaskan meski telah banyak dilakukan inovasi pendidikan namun hal ini belum memberikan dampak signifikan dalam pembelajaran siswa.
Pernyataan ini disampaikan Rizal saat menjadi narasumber webinar "Inovasi Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" yang digelar Pusat Inovasi Administrasi Negara pada Kamis, 8 April 2021.
Ada berbagai sebab inovasi pendidikan tersebut kurang berdampak, antara lain disebabkan karena kebijakan yang masih bersifat top down dan berbasis problematik, peta jalan pendidikan yang belum menjawab subtansi pendidikan, serta belum terjadinya perubahan mindset dan paradigma pendidikan.
Muhammad Nur Rizal, pendiri GSM, mengungkapkan inisiatif yang selama ini berasal dari atas (top down) ternyata tidak optimal.
"Seperti yang dapat dilihat bahwa selama ini banyak upaya perbaikan pendidikan dari kebijakan pusat seperti Kurikulum 13, insentif guru, profesi guru, Sekolah Ramah Anak, Sekolah Adiwiyata, yang kita lihat hasilnya ternyata tidak menghasilkan efek langsung dalam solusi menghadapi era disrupsi," tegasnya.
Baca juga: BPIP Minta Kemendikbud Masukan Pancasila dalam Kurikulum
Selain itu Rizal juga mengungkapkan data di mana Indonesia masih masuk sebagai salah satu negara dengan peringkat hasil PISA terendah dengan skor PISA yang stagnan dalam 10-15 tahun terakhir.
"Perundungan masih banyak terjadi sekitar 41 persen siswa dibandingkan dengan negara-negara OECD hanya sebesar 23 persen," ungkapnya.
Ia menambahkan, "pola pikir siswa Indonesia untuk berkembang terbilang cukup rendah sebesar 29% dibandingkan dengan negara-negara OECD sebesar 63 persen."
Ditambah pula, lanjutnya, angka ICOR Indonesia berada di angka paling tinggi di negara ASEAN, yaitu 6,5, yang menandakan biaya investasi Indonesia yang boros.
"Data ini menunjukkan ketidakefektifan inisiatif kebijakan yang dihasilkan selama ini dalam menjawab permasalahan, tantangan dan ancaman yang terjadi di masa depan, bahkan masa kini," kata Rizal lebih lanjut.
Untuk itu, Nur Rizal menekankan perlunya narasi perubahan yang didengungkan serempak oleh pembuat kebijakan pusat dan daerah beserta perpanjangan tangannya.
"Selama ini inovasi kebijakan yang dihasilkan tidak diikuti dengan narasi perubahan yang dapat menciptakan perubahan mindset dan paradigma pendidikan," ujarnya.
Padahal, Rizal memandang penting untuk memulai perubahan dengan perubahan mindset, perilaku dan belief system akan paradigma dan orientasi pendidikan yang baru sehingga perubahan tercipta secara internal.
Menurutnya perubahan paradigma pendidikan tidak boleh bergantung dari insentif eksternal saja seperti anggaran, hibah dan program pemerintah.
"Maka dari itu, narasi tentang focal point pendidikan Indonesia secara bulat, jelas dan terarah di masa akan datang sangat diperlukan," tegasnya.
Untuk itu, GSM memandang perlu pendekatan penumbuhan komunitas guru secara organik, bukan top down.
Baca juga: YCAB: Mesin dan Kurikulum SMK Sudah Kuno
"Model-model perubahan yang sukses dilakukan di akar rumput perlu diekskalasi secara jumlah oleh pemerintah dengan pendekatan positive deviance, dimana solusi praktis justru berasal dari komunitas guru itu sendiri," jelasnya.
Maka dari itu, peran pemerintah penting dalam memfasilitasi regulasi maupun kebijakan yang memayungi akar rumput untuk dapat bergerak dengan merdeka tetapi tetap terfasilitasi dalam konteks infrastruktur politik dan anggaran.
"Koordinasi kebijakan antara pusat dan daerah harus sinkron dan tidak saling meniadakan agar praktik di lapangan senada dengan kebijakan merdeka belajar sebagai titik balik perubahan di aspek paradigma dan perilaku pendidikan," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.