BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Jakarta Intercultural School

Maksimalkan Kecerdasan Anak, Sekolah Berkurikulum Internasional Terapkan Pendekatan Sosial-Emosional

Kompas.com - 31/05/2021, 16:07 WIB
Hotria Mariana,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Proses belajar mengajar anak seyogianya tidak hanya berfokus pada perkembangan kognitif, tapi juga aspek sosial-emosional.

Meski memiliki makna berbeda, aspek sosial dan emosional tetap saling berkaitan. Keduanya berperan dalam meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, dan mengendalikan emosi.

Di masa pandemi Covid-19, pemenuhan kebutuhan sosial-emosional menjadi agak terhambat. Pergeseran rutinitas dari tatap muka menjadi serbadaring merupakan pemicunya. Akibatnya, anak tidak bisa berinteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya.

Padahal, interaksi langsung dengan lingkungan, seperti kegiatan bersekolah, menjadi salah satu cara mengoptimalkan aspek tersebut.

Pendekatan sosial-emosional di masa pandemi

Dukungan sosial-emosional yang baik dapat membantu anak melewati masa-masa sulit seperti sekarang. Agar hal tersebut terpenuhi, perlu ada kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah.

Dalam pelaksanaannya, orangtua dapat mendukung stabilitas emosional anak dengan menyiapkan wadah untuk mengekspresikan perasaan mereka.

Sementara, sekolah berperan menyiapkan metode-metode pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak secara individual. Dengan kata lain, sekolah memahami bahwa setiap murid memiliki kebutuhan emosi yang berbeda.

Pada beberapa sekolah, khususnya yang berkurikulum internasional, metode pembelajaran dengan pendekatan aspek sosial-emosional telah diaplikasikan secara optimal.

Contohnya, Jakarta Intercultural School (JIS) yang menyediakan Student Support Team (SST). Tim yang diisi oleh sekelompok profesional multidisiplin dan berlisensi ini bertugas membantu siswa dalam mengatasi masalah akademis, termasuk juga sosial-emosional.

Baca juga: Pemenuhan Kebutuhan Akademik dan Sosial-emosional Jadi Fokus JIS dalam Pembelajaran Digital

Terapis Sekolah Menengah Pertama dan Atas JIS Kris Carlson menuturkan perannya dalam SST. Ia berkata, dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh tujuh konselor lain.

“Saya memberikan dukungan terapeutik individu untuk siswa kami yang berjuang dengan masalah kecemasan dan depresi. Kami melibatkan keluarga siswa dalam penanganan ini,” kata Carlson.

Ilustrasi proses belajar mengajar di sekolah berkurikulum internasional.Dok. Shutterstock Ilustrasi proses belajar mengajar di sekolah berkurikulum internasional.

Hal senada turut dikemukakan Konselor Sekolah Menengah Pertama JIS Angie Machacek. Bahkan, ia mengaku, mendapat kesenangan tersendiri selama menjalankan tugas dalam membantu siswa-siswi.

“Di luar peran memantau kemajuan sosial dan emosional akademis siswa, saya juga menikmati menghabiskan waktu bersama orangtua, membantu mereka menangani anak-anak melewati masa remaja yang kadang menantang, terutama saat pandemi Covid-19,” tuturnya.

Tak hanya memberikan dukungan kepada siswa, tim konselor JIS juga membantu orangtua calon siswa yang akan mendaftar. Ini mengingat memasukkan anak ke sekolah bukanlah perkara mudah.

“Kami membantu mereka dengan mencari tahu terlebih dahulu minat dan kemampuan anak sebelum memasukkan anak ke sekolah,” imbuh Angie.

Tim konselor JIS juga membantu siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, baik lingkungan sekolah baru, negara baru, maupun tingkatan pendidikan baru. Orangtua dan siswa akan mendapatkan pendampingan pada masa transisi tersebut.

Baca juga: Mengurai Risiko di Balik Penerapan PJJ jika Dilakukan Berkepanjangan

Angie mengatakan, JIS menyiapkan pendekatan sosial-emosional yang komprehensif melalui program Transisi. Hal ini penting mengingat ketika siswa menjalani masa transisi dengan nyaman, mereka juga akan mengikuti proses belajar mengajar dengan baik.

Tim konselor akan melakukan berbagai kegiatan untuk siswa, seperti orientasi sekolah. Siswa pun akan diperkenalkan pelajaran yang bakal didapat maupun cara mempersiapkannya. Siswa dapat bertanya apa pun kepada tim konselor terkait lingkungan baru yang bakal mereka jalani.

“Tim juga memperkenalkan siswa dengan student ambassadors, baik di tingkat SMP maupun SMA. Tim konselor secara khusus menyiapkan program transisi untuk siswa kelas 5 yang naik ke kelas 6 dan kelas 8 ke kelas 9,” jelas Angie.

Angie memastikan, tim konselor akan bekerja dengan baik dalam mendampingi siswa. Dengan demikian, siswa dapat beradaptasi dan nyaman menjalani pembelajaran.

Keunggulan sekolah internasional

Dalam beberapa aspek, sekolah internasional memiliki beberapa keunggulan. Hal ini dirasakan langsung oleh Kepala Penerimaan Siswa JIS Kat Ngkaion dan Carlson yang kebetulan menyekolahkan anaknya di JIS.

Mereka mengatakan, JIS merupakan salah satu sekolah internasional yang peduli terhadap perkembangan murid. Keduanya mengaku sangat menikmati momen-momen menyekolahkan anaknya di sana.

“Menjadi bagian dari komunitas JIS merupakan perjalanan yang luar biasa bagi anak-anak saya. Saya telah melihat mereka semua lulus dan mampu masuk ke universitas. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan di sekolah ini. Pengalaman itu benar-benar melengkapi mereka sebagai anak muda,” ujar Kat.

Di sisi lain, Carlson mengatakan bahwa akhir-akhir ini terjadi peningkatan minat masyarakat terhadap sekolah internasional, baik dari kalangan ekspatriat maupun lokal.

Selain memiliki program akademik berkualitas dan layanan dukungan sosial-emosional, sekolah internasional juga menyediakan klub kegiatan akademis dan nonakademis yang sesuai dengan minat murid.

Baca juga: Membangun Empati dan Etos Kolaborasi Siswa melalui Pembelajaran Service-Learning

Dukungan komprehensif tersebut, kata Carlson, dapat menjadi bekal murid mempersiapkan diri masuk ke universitas yang diinginkan.

“Sebagian besar dari mereka memiliki persepsi bahwa pendidikan sekolah internasional akan membantu anak-anak lebih siap untuk (masuk ke jenjang) universitas. Pasalnya, kurikulum yang diterapkan di sekolah internasional bersifat global,” terangnya.

Bukan itu saja, Carlson menambahkan bahwa sekolah internasional membantu siswa-siswi untuk memahami berbagai budaya. Pasalnya, sekolah-sekolah tersebut biasanya juga diisi oleh anak-anak dari kelompok masyarakat ekspatriat atau yang disebut sebagai third culture kids (TCK).

“Diversifikasi yang terjadi di sekolah internasional pun membuat anak menjadi lebih paham dan peka terhadap orang lain. Mereka juga memiliki rasa hormat dan empati,” imbuhnya.

Hal senada turut disampaikan Angie. Bahkan, menurutnya, kemampuan-kemampuan yang masuk ke dalam golongan soft skill tersebut amat diperlukan dunia saat ini.

“Saya melihat banyak manfaat (yang bisa diambil) dari sekolah internasional. Anak bisa belajar tentang semua budaya dan adat istiadat yang ada dalam mikrokosmos lingkungan sekolah. Hal itu membuka mata anak terhadap dunia dan memahami perspektif orang lain. Anak-anak juga belajar untuk menjadi lebih bijaksana,” ujar Angie.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau