BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Jakarta Intercultural School

Membangun Empati dan Etos Kolaborasi Siswa melalui Pembelajaran Service-Learning

Kompas.com - 26/04/2021, 11:31 WIB
Alek Kurniawan,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pemanfaatan teknologi digital dalam ekosistem pembelajaran di dunia pendidikan kini menjadi kebutuhan vital. Dengan adanya akses digital, sumber belajar bagi siswa menjadi luas dan beragam.

Meskipun demikian, tak semua siswa mendapatkan akses teknologi digital.

Network Readiness Index (NRI) pada 2019 mencatat, penetrasi penggunaan teknologi digital penduduk Indonesia di wilayah perkotaan hanya sekitar 71-72 persen. Di desa, angka penetrasi tersebut lebih parah lagi, yakni hanya di kisaran 42-48 persen.

Minimnya fasilitas internet, sarana listrik yang kurang memadai, dan tidak adanya komputer atau laptop menjadi beberapa faktor utama yang menghambat penetrasi penggunaan teknologi digital.

Baca juga: Menumbuhkan Pemikiran Kritis, Upaya JIS Memberdayakan Perempuan Melalui Pendidikan

Melihat keadaan tersebut, tak sedikit siswa merasa tersentuh dan tergerak untuk membantu sesama. Salah satunya, Sangwook (17). Siswa Jakarta Intercultural School (JIS) itu merasa terpanggil untuk membantu teman-temannya yang kurang beruntung.

Tak sekadar di lingkungan JIS, Sangwook bahkan memiliki impian untuk membantu mempersempit kesenjangan digital di Indonesia. Sebagai pelajar abad ke-21 yang sangat bergantung pada teknologi digital, ia menyadari bahwa komputer seperti kotak harta karun yang penuh dengan potensi.

“Saya yakin bahwa akses yang sama terhadap komputer dan internet dapat membuat perbedaan yang signifikan dalam pendidikan anak,” ujar Sangwook dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (19/4/2021).

Atas dasar keinginan yang kuat untuk membantu sesama, Sangwook pun bergabung ke dalam klub Plugged-IN di sekolahnya.

Paket yang dipersiapkan klub Plugged-IN untuk diberikan kepada komunitas binaan.DOK. JAKARTA INTERCULTURA SCHOOL (JIS) Paket yang dipersiapkan klub Plugged-IN untuk diberikan kepada komunitas binaan.

Dengan bantuan dan bimbingan ahli, Sangwook dan anggota klub Plugged-IN bekerja keras untuk menjadikan teknologi lebih menyenangkan dan dapat diakses oleh semua orang, terutama pelajar muda dari latar belakang yang kurang beruntung.

Setelah menjalankan rencana tersebut, anggota klub Plugged-IN memiliki jadwal tetap untuk mengajarkan pelajaran cara menggunakan laptop selama dua kali seminggu kepada siswa sekolah dasar.

“Setiap minggunya, kami memiliki tema tertentu dan setidaknya satu kegiatan interaktif. Salah satu contohnya adalah perburuan kode QR. Semua siswa dan anggota klub pun bekerja dalam tim untuk menyelesaikan berbagai tantangan terkait teknologi di sekitar sekolah dengan memindai kode QR,” jelas Sangwook.

Baca juga: Pemenuhan Kebutuhan Akademik dan Sosial-emosional Jadi Fokus JIS dalam Pembelajaran Digital

Sebagai informasi, Plugged-IN merupakan satu dari 35 klub yang masuk dalam Program Pembelajaran Layanan atau Service-Learning Program di JIS High School.

Koordinator Service-Learning Program JIS Jodi Berry mengatakan, pada dasarnya, klub-klub tersebut beroperasi seperti jaringan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk menanggapi kebutuhan komunitas masyarakat.

“Service-Learning Program menawarkan kesempatan kepada siswa untuk memimpin, berkolaborasi, dan mengembangkan nilai-nilai filantropi yang mengarah pada partisipasi sosial,” ujarnya.

Dengan bimbingan dari JIS High School Service Council dan penasihat fakultas, lanjutnya, siswa bekerja sama untuk meluncurkan kampanye, menggalang dana, dan menginisiasi proyek yang lebih besar guna mendukung mitra komunitas yang membutuhkan.

Charles Nelson Sinarya menulis buku Bahasa Inggris-Indonesia dengan ilustrasi dan kegiatan menarik berjudul Let?s Learn Basic English With Billy.DOK. JAKARTA INTERCULTURA SCHOOL (JIS) Charles Nelson Sinarya menulis buku Bahasa Inggris-Indonesia dengan ilustrasi dan kegiatan menarik berjudul Let?s Learn Basic English With Billy.

Membangun karakter

Sama seperti Sangwook, Nelson, siswa kelas 12 JIS, juga melihat pentingnya menangani kebutuhan anak-anak yang rentan dan kurang mampu.

Untuk membantu mewujudkannya, Nelson pun bergabung ke dalam dua klub service-learning sekaligus, yakni House of Hope dan Conquer Cancer Club.

House of Hope merupakan klub yang fokus melibatkan anak-anak dari Panti Asuhan Akhiruz Zaman melalui permainan, kegiatan olahraga, serta pembelajaran bahasa Inggris dan matematika.

Baca juga: Hadapi Revolusi Industri 4.0, Dunia Pendidikan Harus Bagaimana?

Sementara itu, klub Conquer Cancer Club merupakan wadah siswa untuk membangun empati pada anak-anak pengidap kanker. Anggotanya menjadwalkan agenda khusus untuk mengunjungi anak-anak yang berjuang melawan kanker dan menghibur mereka dengan pelajaran seni serta kerajinan.

Service-learning memungkinkan siswa seperti saya membangun karakter moral yang baik. Saya percaya bahwa salah satu elemen penting dari pendidikan adalah dapat berinteraksi dengan siswa dan masyarakat di sekitar kita,” ujarnya.

Kegiatan tersebut, lanjut Nelson, tidak hanya memberinya keterampilan untuk bekerja sama dan berkolaborasi dengan banyak orang.

“Aktivitas klub juga membantu saya untuk lebih berempati dan peduli kepada mereka yang kurang beruntung,” ujarnya.

Pandemi bukan halangan, semua klub service-learning di JIS harus beradaptasi dan mendesain ulang seluruh pendekatan mereka dalam menjangkau komunitas.DOK. JAKARTA INTERCULTURA SCHOOL (JIS) Pandemi bukan halangan, semua klub service-learning di JIS harus beradaptasi dan mendesain ulang seluruh pendekatan mereka dalam menjangkau komunitas.

Pandemi tak jadi halangan

Sayangnya, keadaan pandemi Covid-19 mengubah segalanya, termasuk kegiatan service-learning. Dengan pemberlakuan kebijakan pembelajaran jarak jauh, Sangwook, Nelson, dan pelajar lainnya merasa sulit untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang yang mereka bantu.

Alhasil, semua klub service-learning di JIS harus beradaptasi dan mendesain ulang seluruh pendekatan mereka dalam menjangkau komunitas.

“Pandemi memperburuk dan semakin mengungkap masalah kesenjangan digital di Indonesia. Kami mengetahui bahwa begitu banyak siswa terpaksa tinggal di rumah tanpa akses teknologi,” kata Sangwook.

Oleh karena itu, tambahnya, prioritas klub Plugged-IN saat ini adalah membantu mereka melewati masa-masa sulit.

Baca juga: Berkonsep Stadion Kita, JIS Bisa Jadi Home Base Klub di Luar Jakarta

“Saya pikir, motivasi inti kami selalu sama bahwa teknologi dapat memperkaya atau mungkin mengubah hidup seseorang (ke arah yang lebih baik),” jelas Sangwook.

Selain mengajar secara online, klub Plugged-IN selama setahun terakhir ini juga berfokus pada penggalangan donasi untuk mengumpulkan gadget bekas.

Gadget yang sudah terkumpul kemudian disalurkan ke siswa sekolah negeri di seluruh Indonesia untuk membantu mereka berpartisipasi dalam kelas virtual selama pandemi.

“Kami telah menyumbangkan hampir 100 perangkat, termasuk smartphone, komputer desktop, laptop, dan iPad. Kami menjalani proses yang cukup lama. Kami meminta perangkat kepada orang-orang dan perusahaan di sekitar kami, mengumpulkannya, memperbaikinya, dan memasukkannya ke dalam paket bersama dengan aksesori, masker, serta instruksi,” ujar Sangwook.

Dalam berbagai pembelajaran service-learning yang telah mereka lakukan, seluruh siswa JIS secara umum telah mendemonstrasikan beberapa kompetensi dasar dalam pendidikan abad ke-21. DOK. JAKARTA INTERCULTURA SCHOOL (JIS) Dalam berbagai pembelajaran service-learning yang telah mereka lakukan, seluruh siswa JIS secara umum telah mendemonstrasikan beberapa kompetensi dasar dalam pendidikan abad ke-21.

Kompetensi “welas asih”

Sementara itu, Nelson dengan kedua klubnya juga tak mau ketinggalan. Ia dan teman-temannya mengumpulkan serta memberikan paket peduli berisi bahan makanan penting dan perlengkapan kebersihan kepada komunitas.

Namun, hal itu belum membuat Nelson puas. Dia ingin menjangkau dan membantu sebanyak mungkin lewat keahliannya.

Nelson menggunakan waktu luangnya untuk menulis buku Bahasa Inggris-Indonesia dengan ilustrasi dan kegiatan menarik berjudul Let’s Learn Basic English With Billy. Buku tersebut pun telah diterbitkan dan dijual.

Untuk setiap buku yang dia jual, Nelson menyumbangkan salinannya ke sekolah atau panti asuhan setempat.

Baca juga: JIS Mulai Belajar Tatap Muka dengan Penerapan Protokol Kesehatan Ketat serta Sediakan Psikolog untuk Siswa

“Buku ini mengajarkan anak-anak Indonesia tentang dasar-dasar literasi bahasa Inggris, termasuk kosakata dasar, struktur kalimat, pembentukan soal, dan tata bahasa. Melalui buku ini, saya berharap dapat membantu anak-anak Indonesia memperoleh literasi bahasa Inggris di usia muda dan membekali mereka dengan kunci dunia,” Kata Nelson.

Selain itu, Nelson juga memimpin proyek kolaborasi dengan tujuh klub layanan di JIS. Setiap klub membuat video pelajaran bahasa Inggris yang dipasangkan dengan pelajaran yang diajarkan di buku. Menurutnya, video tersebut dapat dipakai untuk melengkapi pelajaran buku yang telah ia tulis.

Dalam berbagai pembelajaran service-learning yang telah mereka lakukan, Nelson, Sangwook, dan siswa JIS secara umum telah mendemonstrasikan beberapa kompetensi dasar dalam pendidikan abad ke-21.

Menurut Berry, kompetensi tersebut meliputi kreativitas, pemikiran kritis, kolaborasi, dan komunikasi. Tak hanya itu, Berry menambahkan bahwa ada kompetensi inti lainnya yang juga penting bagi pembelajaran zaman sekarang, yakni “welas asih” atau peduli terhadap sesama.

“Kita harus bisa bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua. Di atas segalanya, pembelajaran service-learning adalah pendekatan untuk mengembangkan kompetensi tersebut, terutama untuk melengkapi pembelajaran yang telah dipelajari siswa di dalam kelas,” ujar Berry.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com