KOMPAS.com - Di Indonesia, budidaya tomat cukup menjanjikan. Hanya saja, banyak petani tomat yang mengalami kendala karena buah tomat tidak tahap simpan atau cepat busuk.
Tentu, hal ini mengakibatkan petani atau penjual tomat rugi. Pembeli juga dapat mengalami hal itu karena tomat tidak bisa tahan simpan terutama di suhu ruang.
Terkait hal itu, Dosen Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Syariful Mubarok, S.P., M.Sc., PhD., melakukan rekayasa genetika dan rekayasa budidaya terhadap tanaman tomat.
Baca juga: Dosen Unpad: Plak Harus Dibersihkan agar Terhindar Penyakit di Rongga Mulut
Ternyata, riset tersebut merupakan lanjutan dari hasil penelitian Syariful saat menempuh studi Doktor di University of Tsukuba Jepang 2013 silam.
Bersama tim, Syariful melakukan seleksi terhadap beberapa mutan yang mengalami mutasi pada gen SIETR atau gen yang berhubungan dengan fungsi kerja hormon etilen.
Etilen merupakan hormon tumbuhan yang dapat mempercepat proses pematangan buah. Namun, jika tidak dikendalikan, etilen bisa mempercepat kerusakan pada buah.
Riset yang dilakukan bersama tim dari University of Tsukuba, diperoleh beberapa mutan tomat yaitu Sletr1-1, Sletr1-2, Sletr4-1, dan Sletr5-1 yang kesemuanya kurang sensitif terhadap etilen.
Ia kemudian mencoba mengembangkan jenis hibridanya. Hasilnya, hibrida tomat mutan Sletr1-1 dan Sletr1-2 tersebut memiliki keunggulan karena memiliki ketahanan simpan buah lebih lama.
Di Indonesia, Syariful kembali melanjutkan riset mengenai tomat tahan simpan tersebut untuk disesuaikan dengan kondisi iklim Indonesia.
Menurutnya, untuk di Jepang, hibrida tomatnya mengalami peningkatan ketahanan simpan sampai 5 hari lebih lama.
"Setelah kita kembangkan lagi di sini dengan menggunakan materi genetik yang sama, kita dapatkan tomat yang lama simpan buahnya mencapai 8 hari untuk hibridanya dan 25 hari lebih lama untuk generasi NIL (Near Isogenic Line)-nya, serta nutrisi ataupun kualitas pascapanennya yang tidak ada perbedaan," terangnya dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Dengan memiliki waktu yang lebih lama, hal ini dapat mengurangi kerusakan tomat pada proses pascapanen. Bagi penjual, hal ini tentu saja menguntungkan. Penjual bisa menjual tomat lebih lama karena tidak mudah membusuk.
Baca juga: Mahasiswa UNY Manfaatkan Limbah Tempe untuk Suburkan Tanaman
Sedangkan bagi konsumen, ketika beli tomat ini, tanpa disimpan di pendingin pun, tomat bisa tahan simpan jika dibandingkan dengan tomat lain di ruang biasa.
Tak hanya tomat tahan simpan, Syariful dan tim Faperta Unpad bekerja sama dengan University of Tsukuba juga tengah mengembangkan riset tomat tanpa biji.
"Tomat tanpa biji kita kembangkan untuk mengatasi permasalahan budidaya tomat pada suhu tinggi," ujarnya.
Dijelaskan, pada suhu tinggi biasanya tomat akan terhambat proses pembentukan buahannya. Hal ini disebabkan adanya sterilitas dari polen atau serbuk sari yang menyebabkan gagalnya pembuahan, sehingga otomatis buah tidak akan terbentuk.
Proses ini biasanya terjadi ketika tomat khususnya tomat Beef ditanam di dataran rendah atau daerah bersuhu tinggi. Karena itu, selama ini tomat Beef hanya bisa berproduksi secara optimal apabila ditanam di dataran tinggi yang bersuhu rendah.
Melalu riset yang dilakukan, Syariful dan tim mencoba melakukan rekayasa tanaman dan budidaya agar tomat beef yang biasa ditanam di dataran tinggi bisa dibudidayakan di daerah bersuhu tinggi.
Baca juga: Mahasiswa UNY Inovasi Infused Water dari Rempah, Buah dan Sayur
Tomat tanpa biji merupakan hasil rekayasa yang memungkinkan tomat bisa tumbuh tanpa proses pembuahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.