KOMPAS.com - Jika seseorang mengalami gangguan pada organ ginjal akan sangat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya.
Orang yang memiliki gangguan pada ginjal akan mengalami penumpukan cairan hingga racun di dalam tubuh. Bahkan gangguan fungsi pada organ ginjal dapat menjadi salah satu risiko kematian dini.
Bagi pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang menggunakan metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) sering menemui masalah self-monitoring yang berakibat terjadi komplikasi.
Dari permasalahan tersebut, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menciptakan aplikasi SahabatCAPD dengan teknologi machine learning.
Baca juga: PTM 50 Persen di DKI Jakarta, Durasi Belajar Maksimal 4 Jam Per Hari
Aplikasi ini bisa membantu pasien GGK mendeteksi dini risiko komplikasi serta meningkatkan self-monitoring pasien. Ketua tim Fiqey Indriati Eka Sari menjelaskan, pemerintah Indonesia telah menetapkan solusi untuk pemerataan treatment stadium akhir GGK, yakni melalui terapi Peritoneal Dialysis, khususnya metode CAPD.
"Metode CAPD menjadi alternatif karena pasien bisa memiliki kualitas hidup 90 persen lebih baik daripada metode terapi lainnya," jelas Fiqey Indriati Eka Sari seperti dikutip dari laman ITS, Sabtu (5/2/2022).
Fiqey menerangkan, prinsip kerja CAPD adalah dengan menyalurkan cairan dialisat steril ke rongga peritoneum melalui kateter permanen sebagai pengganti fungsi ginjal. Hal ini dilakukan secara rutin oleh pasien sebanyak tiga hingga lima kali dalam sehari.
"Karenanya, pasien dituntut memiliki disiplin dan self-monitoring yang tinggi," ujarnya.
Namun dalam praktiknya, lanjut Fiqey, penelitian di tahun 2016 dan 2020 menunjukkan tingkat kelalaian pasien mencapai 74 persen. Selain itu, pasien mengaku sulit mengenali gejala komplikasi yang berdampak keterlambatan penanganan.
"Kondisi terkini, pasien juga kurang mem-follow up data penggantian cairan. Sehingga tenaga medis kesulitan untuk mendiagnosis komplikasi lebih dini," ungkap mahasiswi yang juga anggota tim Robotic Ichiro ITS ini.
Baca juga: Ditjen Diktiristek Ungkap 3 Tantangan Pembelajaran Hybrid
Setelah mengkaji puluhan jurnal mengenai Peritoneal Dialysis, Fiqey dan tim menemukan bahwa perubahan warna cairan buangan pasien CAPD dapat digunakan sebagai salah satu indikator awal untuk diagnosa komplikasi. Hal ini juga ditunjukkan berdasarkan tingkat kekeruhan cairan buangan pasien.
"Kami mengusung judul penelitian Mobile Virtual Assistant Pendeteksi Dini Risiko Komplikasi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis pada Penyandang Gagal Ginjal Kronis Berbasis Machine Learning, yang juga kami sebut sebagai SahabatCAPD," tuturnya. Aplikasi SahabatCAPD memiliki tiga konsep fungsionalitas utama, yakni:
Aplikasi SahabatCAPD memungkinkan pasien terhubung dengan tenaga medis. Sehingga follow up data penggantian cairan akan lebih mudah dimonitoring. Hal ini ditujukan untuk memudahkan tenaga medis mencegah komplikasi sedini mungkin.
"Awalnya pasien harus membawa buku catatan ke rumah sakit. Sekarang monitoring dapat ditinjau langsung dari jauh," papar dia.
Secara akurasi kesesuaian solusi image processing terhadap indikasi dan komplikasi, model memiliki akurasi mencapai 94,7 persen. Selain itu, SahabatCAPD juga telah diujikan kepada lima pasien GGK sesuai dengan standar System Usability Scale (SUS) dan mendapat skor 80.