KOMPAS.com - Masyarakat yang terpapar Covid-19 mengalami gejala berbeda-beda. Ada yang tanpa gejala, tetapi ada juga yang menunjukkan gejala ringan, sedang hingga berat.
Bagi kasus tanpa gejala dan gejala ringan dianjurkan untuk menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah atau shelter yang tersedia.
Tetapi bagi yang menunjukkan gejala sedang hingga berat tentu harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Selain itu pasien juga harus mengonsumsi obat-obatan khusus bagi penderita Covid-19 agar kondisinya lekas membaik. Salah satu obat yang digunakan adalah Favipiravir.
Baca juga: BUMN Rajawali Nusindo Buka Lowongan Kerja bagi D3, Buruan Daftar
Merangkum dari berbagai sumber, obat Favipiravir dinilai dapat membantu mengatasi infeksi virus corona atau mencegah tingkat keparahan akibat paparan virus SARS-CoV-2. Uji coba tentang keamanan dan kemanjuran Favipiravir sebagai obat potensial Covid-19 hingga saat ini terus diperbarui.
Terkait konsumsi Favipiravir, baru-baru ini jagat maya dihebohkan video terkait kuku penyintas Covid-19 yang menyala saat diberi sinar Ultraviolet (UV). Hal itu digadang-gadang karena penyintas Covid-19 mengonsumsi Favipiravir.
Menanggapi video tersebut, dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Anton Sony Wibowo meminta masyarakat agar tidak langsung percaya dengan postingan maupun pesan yang beredar terkait flouresensi pada kuku maupun rambut manusia karena mengonsumsi Favipiravir.
Baca juga: Harga Bahan Pokok Naik, Pakar Unpad: Perlu Waspadai Mafia Pangan
Masyarakat diimbau untuk mencari dan memastikan informasi ke sumber yang resmi dan kredibel.
Anton menyebutkan secara klinis di rumah sakit belum pernah menemukan fenomena flouresensi atau terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap sinar atau radiasi elektromagnet lain pada kuku atau rambut manusia akibat mengonsumsi obat Favipiravir.
Dari hasil literatur review yang dilakukan, ditemukan ada laporan satu kali oleh Ozunal dan Guder (2021), di salah satu jurnal dalam bentuk laporan kasus (case report).
Namun secara ilmiah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kasus tersebut dengan metode yang lebih baik.
Baca juga: Mahasiswa Itera Teliti Kulit Pisang-Serabut Kelapa Jadi Filtrasi Air
Selain itu, juga melakukan meta analisis untuk mengetahui level of evidence dari laporan kasus tersebut.
"Belum tentu semua informasi tersebut bisa diaplikasikan pada semua penderita Covid-19 karena perlu penelitian lebih lanjut dan tidak mengeneralisasi," urai Anton seperti dikutip dari laman UGM, Kamis (10/3/2022).
Dia menekankan, masyarakat sebaiknya tetap fokus pada terapi dan diagnosis resmi dari Kementerian Kesehatan.
Lebih lanjut dosen FKKMK UGM ini menjelaskan Favipiravir merupakan salah satu antivirus yang digunakan pada pengobatan Covid-19.
Baca juga: Belajar Interaktif dan Dapat NFT Gratis, Yuk Ikut Kognisi Youth Learning Festival
Menurut dia, obat ini merupakan salah satu obat dengan mekanisme kerja sebagai ribonucleotide analog dan menghambat RNA polimerase pada virus sehingga akan menghambat replikasi virus.
"Jadi, konsumsi Favipiravir akan menghambat perkembangbiakan virus Covid-19 dalam tubuh pasien. Sedangkan adanya flouresensi pada tubuh manusia karena penggunaan Favipiravir masih perlu penelitian lebih mendalam lagi," ungkap Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.