KOMPAS.com - Indonesia kini berada di urutan ke-7 di dunia sebagai salah satu negara dengan jumlah kasus pernikahan anak terbanyak.
Hal tersebut dipaparkan Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Yulina Eva Riany. Ia mengatakan, posisi tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa negara di Afrika dan Latin Amerika.
Menurut Eva, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya angka pernikahan anak. Terutama di daerah Jawa Barat, provinsi dengan jumlah aktual pernikahan anak terbesar di Indonesia.
Beberapa faktor penyebab tingginya pernikahan anak, lanjut dia, di antaranya tingkat pendidikan yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya informasi terkait dengan risiko pernikahan anak.
Baca juga: Astra Buka Lowongan Kerja bagi Lulusan S1-S2 Berbagai Jurusan
"Media sosial juga menjadi faktor pemicu, selain faktor budaya yang mempersepsikan bahwa menikah sedini mungkin dapat meringankan beban orang tua dan menjadi kebanggaan keluarga. Terutama jika anak perempuan dapat menikah dengan pria kaya,” jelasnya seperti dilansir dari laman IPB University, Jumat (11/3/2022).
Eva menekankan bahwa menikahkan anak dengan usia di bawah 19 tahun adalah sebuah pelanggaran hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Saya mengajak seluruh pengurus dan anggota karang taruna maupun kader yang memiliki kedekatan secara sosial budaya dengan remaja di wilayah Kecamatan Dramaga, Cibungbulang dan Leuwisadeng untuk semakin giat menyuarakan stop pernikahan anak, baik kepada remaja maupun kepada orang tua mereka,” ujarnya.
Hal ini dinilai Eva sangat penting karena pernikahan anak dapat menyebabkan beragam risiko yang membahayakan.
Baca juga: Indofood CBP Buka Lowongan Kerja Lulusan SMA/SMK, D3 dan S1
Mulai dari aspek kesehatan, ada risiko seperti reproduksi, kehamilan bermasalah, risiko kematian ibu dan anak, risiko melahirkan anak dengan masalah prematur, stunting, atau disabilitas.
“Ada risiko munculnya permasalahan psikologi atau mental bahkan risiko sebagai korban kekerasan. Selain itu, pernikahan anak bukan sebagai suatu solusi keluar dari permasalahan kemiskinan. Justru pernikahan anak dapat menghasilkan masalah sosial ekonomi baru di masyarakat yang harus segera diatasi bersama,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa Ciherang, Edy, membenarkan bahwa di wilayah kerjanya masih banyak kasus pernikahan anak yang harus mendapat perhatian bersama.
Kader Karang Taruna dari Desa Purwasari, Babakan, dan Ciherang pun menuturkan bahwa mereka harus bekerja keras untuk mengajak rekan-rekan remaja untuk menangguhkan proses pernikahan mereka yang masih berusia di bawah 19 tahun.
Baca juga: 5 Ciri Orang Cerdas Bukan Hanya Dilihat dari IQ, Kamu Punya Ciri-cirinya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.