KOMPAS.com - Meski kemajuan teknologi memudahkan siapapun untuk berkarya, berinovasi lebih kreatif, kenyataannya tetap saja fenomena plagiarisme muncul.
Plagiarisme atau penjiplakan masih terjadi di tengah masyarakat, tidak hanya dalam industri musik, sastra, maupun industri kreatif lainnya. Namun, juga terjadi di lembaga pendidikan.
Tradisi copy paste terus meningkat dan jadi jalan pintas kala deadline tiba. Tindakan semacam ini sepertinya sudah lumrah terjadi.
Terkait plagiarisme, Guru Besar dan Kepala Pusat HKI dan Sertifikasi Produk Inovasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Tukiran, turut berkomentar. Menurutnya, para penjiplak kerap bersembunyi di balik kata ‘inspirasi’ yang menjadikannya seakan bebas meniru dan menjiplak karya orang lain.
Baca juga: Tutorial 6 Rumus Dasar Excel, Banyak Digunakan Dunia Kerja 4.0
“Menjadikan karya orang sebagai inspirasi itu hal wajar. Namun yang jadi masalah ketika benar-benar meniru karya orang lain yang membuat kita terinspirasi itu dan mengaku sebagai karya sendiri, Ini jelas salah. Kita bebas berkarya, tetapi jangan sampai benar-benar meniru. Apalagi menjadikan karya orang lain atas nama sendiri, itu jelas plagiarisme,” tegasnya, dilansir dari laman Unesa.
Justru, dari karya orang lain itu harus dijadikan sebagai dasar dalam melakukan inovasi atau pengembangan karya yang lebih sehingga berbeda dari karya-karya lain.
“Dalam bidang akademik misalnya, tidak melarang mengambil atau mengutip karya orang lain, tetapi harus menyertakan sumbernya dari mana, buku mana atau riset siapa. Intinya kan kejujuran,” ucapnya.
Selain plagirisme yang jadi perhatian juga mengenai pelanggaran hak cipta. Dalam dunia musik, Ahmad Dhani, musisi sekaligus salah satu pendiri group musik Dewa 19 yang berang bahkan mengancam akan menuntut salah satu TV Swasta yang ‘membawakan lagu Dewa 19’ tanpa izin tertulis darinya.
Baca juga: Lewat Bisnis Ini, Lulusan SMK Raup Omzet Ratusan Juta Per Bulan
Terbaru dan yang masih viral juga misalnya, kasus “penyayi cover" Trisuaka dan Zinidine Zidan yang memparodikan lagu Andika Mahesa, Vokalis Kangen Band. Kasus tersebut berbuntut panjang hingga Andika Mahesa berikan sindiran ‘keras’ kepada keduanya yang biasanya cover-cover lagu para musisi tanah air, termasuk lagu Kangen Band tanpa izin.
“Cover lagu kan tampaknya sudah lumrah. Tetapi kalau tanpa izin larinya ke pelanggaran hak cipta. Ini juga penting diperhatikan dan masyarakat harus terus diberikan edukasi soal ini,” tuturnya.
Tidak ada batasan yang pasti sejauh mana karya bisa dikatakan orisinal. Namun, kata Prof Tukiran, selama karya yang dilahirkan memiliki orisinalitas atau keunggulan yang tinggi dan berbeda dari karya yang lain, maka itu bukanlah plagiarisme.
Tindakan plagiarisme bisa mengancam kreativitas dan inovasi anak bangsa. Tidak hanya merugikan pemilik karya, tetapi juga merugikan pelaku penjiplak itu sendiri. Maraknya tindakan plagiarisme perlahan ‘membunuh’ iklim inovasi.
Agar terhindar dari plagiarisme atau agar karya tidak dijiplak orang lain, pemilik karya harus segera mendaftarkannya sebagai HKI di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Baca juga: Syarat dan Jadwal Beasiswa IISMA 2022 untuk Mahasiswa D3-D4
Menurutnya, Hari Kekayaan Intelektual Sedunia, 26 April 2022 ini harus menjadi sarana peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya dan sanksi plagiarisme serta mau dan segera mendaftarkan karyanya sebagai HKI, baik itu hak cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang maupun jenis yang lain berdasarkan kategorinya.
“Sekarang mendaftarkan HKI itu mudah, khususnya hak cipta, kelar hanya dalam hitungan menit. Bahkan sekarang terus dikembangkan DJKI dalam memberikan layanan pendaftaran online dan lainnya,” paparnya.