Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profesor Unair: Jasad Manusia Dibuat Kompos, Timbulkan Banyak Penyakit

Kompas.com - 27/11/2022, 09:57 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

Sumber UNAIR News

KOMPAS.com - Ide jasad manusia bisa diatasi dengan cara dijadikan kompos, saat ini menjadi perhatian banyak masyarakat.

Metode pengomposan dianggap unggul jika dibandingkan dengan pemakaman tradisional dan kremasi. Sebab, pemakanan tradisional atau kremasi dianggap belum ramah terhadap lingkungan.

Seperti proses penguburan di California menggunakan bahan pembalseman sebesar tiga kalon untuk tiap jasadnya. Bahan yang digunakan seperti formaldehida, metanol, dan etanol.

Baca juga: 3 Jalur Masuk Unair 2023, Seleksi Mandiri Gunakan TPS dan TPA

Sementara jika dibandingkan dengan proses kremasi, ada lebih dari 500 pound (227 kilogram) karbondioksida dari proses pembakaran satu jasad. Pembakaran itu sendiri menghabiskan energi yang setara dengan dua tangki bensin.

Di Amerika Serikat, kremasi menghasilkan sekitar 360.000 metrik ton karbondioksida setiap tahun.

Karena itu ide pengomposan jenazah dianggap sebagai alternatif terbaik dan ramah lingkungan.

Baca juga: 10 Jurusan di Unair dengan Kuota Terbanyak, Referensi Ikut SNBT 2023

Cara pengomposan jasad manusia pun hampir tidak menggunakan bahan tidak ramah lingkungan.

Pengomposan manusia dilakukan dengan meninggalkan tubuh atau jasad dalam wadah berisikan serpihan kayu dan bahan organik lainnya.

Kemudian, jasad dibiarkan selama sekitar satu bulan dengan memanfaatkan bakteri agar menghasilkan kompos.

Banyak negara yang sudah melegalkan metode pemakaman seperti ini. Misalnya, Colorado, Oregon, Vermont, Washington, dan Amerika.

Tetapi, apakah pengomposan jenazah manusia sebetulnya efektif bagi lingkungan?

Profesor Kesehatan Lingkungan Unair Prof. Ririh Yudhastuti mengatakan pengomposan manusia punya resiko menularkan penyakit yang dibawa jasad.

Selain itu, Prof Ririh mengatakan itu tidaklah lazim di agama Islam.

“Karena takutnya akan menyebarkan penyakit. Contohnya hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit lain itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping. Itu artinya apa? kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa (dan sejenisnya. Red) baru kita kubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman," jelasnya dilansir dari laman Unair.

Terutama untuk jasad yang terinfeksi virus Covid-19, ternyata memiliki tingkat penularannya tinggi.

Maka, jasad tersebut harus dikubur sedalam 3 meter atau lebih serta tidak berada di sekitar sumber air.

“Itu baru satu penyakit, penyakit lain banyak seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada (antraks. Red),” katanya.

Baca juga: Pakar Farmasi Unair Kasih 3 Tips Pilih Obat Aman untuk Anak

Menurut Prof Ririh, negara seperti Colorado kemungkinan memiliki budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia.

"Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia) biasa disana. Dan, di sana tanahnya kan kering jadi tidak banyak unsur hara," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber UNAIR News


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com