KOMPAS.com – Mudik menjadi tradisi yang selalu lekat dengan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya.
Mudik kerap diartikan sebagai tradisi pulang ke kampung halaman. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh umat Islam yang tengah merantau, baik untuk tujuan pekerjaan, pendidikan, maupun yang lainnya.
Dosen Departemen Sejarah Universitas Airlangga (Unair), Moordiati, menjelaskan bahwa sejarah mudik yang ada di Indonesia sudah ada sejak lama.
Baca juga: Lebaran Anti-gemuk, Dosen UI Sarankan Lakukan Puasa 6 Hari
Ia menerangkan, fenomena pulang kampung atau mudik ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam.
Ketika itu, para penguasa yang ditugaskan bekerja di luar kerajaan akan pulang dan kembali ke kampungnya di hari-hari tertentu.
Meski telah ada sejak zaman kerajaan, fenomena mudik serta penggunaan istilahnya diperkirakan baru terjadi secara besar-besaran pada tahun 1960-an hingga 1980-an.
Hal itu selaras dengan tingginya angka urbanisasi masyarakat desa dan kota.
“Jadi, istilah ini mulai berkembang dan menjadi sesuatu yang sangat masif pada tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, seiring dengan masifnya urbanisasi,” ujarnya, dilansir dari laman Unair.
Baca juga: 9 Tempat Wisata di Malang, Cocok buat Libur Lebaran 2023
Tak semua umat Islam merayakan mudik. Di beberapa kawasan Melayu-lah mudik berkembang.
“Nah, ini kemudian yang membuat orang berbondong-bondong dari tempat dia bekerja menuju tempat asalnya. Inilah yang kemudian dikaitkan dengan tradisi dan bahasa Melayu,” imbuhnya.
Dari asal istilahnya, kata mudik merupakan serapan dari bahasa Melayu yang berarti dari hilir ke hulu.
“Dalam tradisi Melayu, mudik itu kan artinya perpindahan dari hilir ke hulu. Jadi, mereka biasanya pergi setiap pagi ke hilir, kemudian pulang ke hulu ketika sore. Mudik berasal dari istilah “udik” yang secara istilah juga bisa berarti dengan ujung, yang artinya pergi ke asalnya,” terangnya.
Namun demikian, istilah mudik dalam perkembangannya juga mengalami perubahan.
Seiring dengan tradisi Lebaran, mudik diasosiasikan dengan istilah Jawa mulih dhisik yang artinya ‘pulang dulu’.
“Seiring dengan adanya tradisi Lebaran, orang-orang mengatakan istilah mudik itu mulih dhisik, serapan dari bahasa Jawa. Ini masuk akal mengingat banyak orang Jawa yang merantau dan melakukan mudik saat Lebaran,” tuturnya.
Baca juga: Pakar UI: Mudik Jadi Momentum Healing Masyarakat Indonesia