KOMPAS.com – Memiliki kendaraan pribadi kini telah menjelma menjadi kebutuhan sekunder, bahkan primer masyarakat. Dilansir dari KOMPAS.com, Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat terdapat 10,54 juta unit mobil dan 86,253 juta motor pada 2013 lalu.
Angka itu terus mengalami kenaikan sebesar 11 persen sejak 2012. Nilai tersebut merefleksikan kebutuhan akan mobil di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya.
Berdasarkan data International Organization of Motor Vehicle Manufacturers (OICA) tahun 2013, rasio pemilik kendaraan bermotor terletak di angka 77 mobil per 1.000 orang. Ini masih relatif kecil jika dibanding Thailand yang memliki rata-rata kepemilikan 208 mobil atau Brunei dengan rata-rata 409 mobil per per 1.000 penduduk.
Jika dilihat dengan jeli, kita punya peluang besar untuk menguasai pasar di dalam negeri sendiri maupun mancanegara. Untuk itu, dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas agar Indonesia dapat meningkatkan posisi daya saing dalam industri otomotif.
Menilik pendidikan teknik
Boleh jadi, ini saatnya menengok keadaan pendidikan sebagai cikal bakal insinyur bangsa. Tak bisa dimungkiri, bahwa kemajuan industri bergantung pada kecakapan SDM dalam mengembangkan produk-produk otomotif.
Bersumber pada data Forlap Dikti, sudah ada sekitar 4.199 jurusan teknik yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini menunjukkan kesempatan luas bagi Indonesia menghasilkan SDM yang kompeten dan berkualitas.
Profesor Teuku Yuri M. Zagloel, Kepala Laboratorium Sistem Manufaktur Teknik Industri Universitas Indonesia, mengatakan bahwa umumnya yang disiapkan perguruan tinggi tidak sejalan dengan kenyataan dalam dunia industri. Secara khusus, perguruan tinggi cenderung teoretis dalam pengajaran dan mengikuti sistem di luar negeri.
"Selama ini mahasiswa belum diajarkan untuk menjadi tenaga siap pakai. Kondisi belajar mengajar lebih besar beban teori daripada praktiknya. Sementara, mahasiswa membutuhkan pengetahuan dan pengalaman mendalam," ujar Yuri, Jumat (11/09/2015).
"Sarjana kita tidak disiapkan untuk menjadi tenaga ahli, tapi tenaga siap latih. Setelah lulus, biasanya masih mengandalkan pelatihan dari perusahaan," tambahnya.
Untuk itulah dibutuhkan fasilitas praktikum yang terintegrasi di perguruan tinggi. Kelas harus dipenuhi dengan alat praktik, jangan hanya terpaku pada buku.
Yuri menambahkan, bahwa nuansa penelitian dan kreativitas sewajarnya dibangun agar mahasiswa luwes setelah lulus. Kelak, mereka memandang industri sebagai lahan subur untuk menebarkan ide-ide baru.
Salah satu contohnya adalah penerapan Lean Production System Laboratorium (LPSL) di Universitas Indonesia. Ruang belajar ini dibentuk hasil kerja sama UI dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Lean Production System sendiri merupakan rancangan serta penerapan sistem yang menjamin efisiensi produksi, mulai dari penggunaan bahan baku, proses produksi, hingga SDM. Keberadaannya membuka kesempatan mengenal suatu kondisi dan proses manufaktur dalam skala laboratorium.
Melalui LPSL, mahasiswa dapat terjun langsung merancang sistem produksi untuk menghasilkan kondisi yang biasa disebut line balancing. Ini adalah keadaan saat proses produksi mencapai nilai yang optimal, baik dari segi volume dan ketepatan waktu, efisiensi biaya, serta sejalan dengan kebutuhan pasar.