Oleh
MAWAR KUSUMA
Materi kuliah yang dibawakan Suminto A Sayuti bukanlah mata ajaran menarik, Teori Sastra. Bergaya santai disertai guyonan segar, membuat tak satu mahasiswanya pun yang mengantuk. Mata kuliah yang dia bawakan dinanti, bahkan memotivasi mahasiswa untuk mengapresiasi seni tak hanya mandek di tataran teori.
Suminto menerangkan teori genre sebagai kode komunikasi. Tak hanya membatasi diri pada pembelajaran teori, ia membawa anak didiknya berpetualang di dunia sastra. Aneka kutipan puisi dari Amir Hamzah, WS Rendra, hingga Linus Suryadi mengalir darinya.
Tak sedikit di antara mahasiswa yang diajar Suminto lalu bereksperimen membuat karya seni lewat sastra, puisi, teater, dan musik. ”Teori sastra tidak untuk dimuliakan, tetapi diterapkan. Jangan mendewakan teori,” ungkap guru besar Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini saat membuka kuliah.
Diajar seorang penyair agaknya merupakan keasyikan sendiri. Tak heran, para mahasiswa tak rela jika Suminto diajukan sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan Rektor UNY.
”Ketika Suminto menjadi dekan, kami jarang dapat kuliah langsung karena kesibukannya. Dia dekat dengan mahasiswa, tak segan memberi masukan dan kritik keras kepada mahasiswa,” kata Reni Trisnawati, mahasiswa semester tujuh Jurusan Sastra Indonesia.
Sebagai seniman dan akademisi, Suminto mengawinkan kebebasan berekspresi dan teori keilmuan dalam irama pendidikan yang membebaskan. Kecintaannya pada seni, antara lain, dijembatani dengan menempati ruang kerja bersebelahan dengan laboratorium karawitan. Setiap hari ia bekerja diiringi gamelan Jawa.
Ia termasuk segelintir dari penyair yang masih menekuni dunia akademisi. Padahal, pada era 1960-1970-an, penyair sempat marak bermunculan dari kalangan akademisi. Nama sastrawan besar seperti Umar Kayam yang juga sosiolog, Kuntowijoyo yang berprofesi sebagai sejarawan, hingga Bakdi Soemanto pernah menghidupkan jagat kepenyairan Yogyakarta.
Kehadiran penyair dari kampus sanggup bersinergi dengan penyair otodidak seperti Emha Ainun Nadjib dan Imam Budi Santosa. Kemesraan hubungan penyair dari lingkungan akademisi dan otodidak ini, sayangnya, tak berjalan kekal.
Kata Suminto, penyair akademisi cenderung memasuki ranah spesialisasi dengan fokus pada wilayah sastra atau malah berhenti berkarya untuk menjadi ilmuwan. ”Penyair yang bertahan di wilayah penciptaan dan pengamatan semakin jarang,” keluhnya.