Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyair dan Guru Besar "Nyeleneh"

Kompas.com - 23/03/2009, 22:25 WIB

Bagi Suminto, tiap zaman mempunyai semangat dan tuntutan berbeda. Penyair akademisi maupun seniman hanya dipisahkan ruang karya, tetapi mereka tetap berada pada wilayah seni yang sama. Profesi akademisi yang terikat logika berpikir sistematik bukan halangan untuk berkarya di ranah puisi yang menonjolkan segi pembebasan diri.

Kodrat sastra Indonesia, lanjut Suminto, adalah sastra koran dan majalah yang menjadi media utama sosialisasi. Komunitas puisi sempat marak di Yogya dengan tradisi pengadilan puisi dari rumah ke rumah untuk saling menguliti dan mengkritik hingga 1980-an.

”Semangat oralitas puisi menjadi tidak sesemarak dulu. Penyair lebih memilih soliter dengan tersedianya aneka media teknologi untuk ekspresi seni,” tuturnya.

Kebebasan

Tiap kali menulis puisi, Suminto mencoba melepaskan teori yang dipelajarinya. ”Teori hanya digunakan saat menjadi guru di kelas. Saya mencoba melupakan teori. Sebagai penyair akademisi, saya tak menonjolkan, tetapi menguasai teori,” tambahnya.

Sempat dua kali menjadi Dekan Fakultas Seni dan Budaya UNY, ia tak bisa melepaskan kekagumannya pada untaian puisi. Menulis puisi menjadi keseharian di sela mengajar dan menguji makalah disertasi di beberapa universitas di Semarang, Yogya, Solo, hingga Malang. Dari puisi pula ia memperoleh kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kegairahan inilah yang dia tularkan kepada para mahasiswa.

Kebebasan menjadi diri sendiri tak hanya ditunjukkan lewat antologi puisi. Di ruang laboratorium karawitan UNY, Suminto duduk berselonjor kaki. Ia memakai celana gunung coklat dan kemeja kotak-kotak.

Ia berkisah tentang sebait impian tentang pendidikan yang memerdekakan. ”Profesi utama saya sebagai guru sastra, menulis puisi menjadi sisi lain kehidupan saya. Puisi memiliki energi membebaskan. Pendidikan juga harus memerdekakan karena ini proses pemberdayaan manusia,” katanya.

Suminto mengakui, semakin jarang penyair merangkap pengajar, apalagi guru besar di perguruan tinggi. Meski tak berniat menjadikan kepenyairannya sebagai profesi, ia ingin menjalani hidup sebagai guru sastra yang juga menulis sastra.

Menulis puisi, kata kakek dua cucu ini, sekaligus pembelajaran untuk menjadi orang Jawa. Budaya Jawa menjadi ciri utama dari karya puisinya. Ide dari semua puisi ditimba dari sumur inspirasi kebudayaan Jawa yang membesarkan sekaligus menjadi batu loncatan penciptaan puisinya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau