JAKARTA, KOMPAS.com — Selama menjadi orangtua kritis, jangankan duduk di komite sekolah, bisa duduk tenang melihat putra-putrinya belajar dengan nyaman pun tidak mudah. Intimidasi. Justru itulah yang kerap dialami para orangtua murid SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur, lantaran selalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan sekolah, terutama soal pengelolaan keuangan sekolah tersebut yang mereka duga berbau korupsi.
Akar masalahnya sudah muncul bertahun lalu, tepatnya antara 2007 dan 2009, yaitu terkait penyimpangan-penyimpangan pada dana block grant RSBI. Pihak sekolah menduga, mencuatnya masalah itu lantaran pengaduan para orangtua murid kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Badan Pemeriksa Keuangan RI, dan Kementerian Pendidikan Nasional RI.
Seperti pernah diberitakan Kompas.com, Senin (1/3/2010), dugaan korupsi dialamatkan ke SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur, itu menyangkut tiga anggaran, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), dan dana block grant RSBI.
Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, pun pernah menyatakan, sekolah ini diduga telah mengorupsi dana yang merupakan biaya operasional peningkatan status sekolah standar nasional (SSN) menjadi internasional.
"Nilainya mencapai Rp 500 juta," ungkap Febri.
Selama 3 tahun, yaitu pada 2007, 2008, dan 2009, kata Febri, sekolah tersebut mendapatkan dana. "Data 2008 dan 2009 masih terus kami gali, dan yang tahun 2007 itulah nilai proyeknya yang sampai Rp 500 juta," ujar Febri.
Hasilnya, ICW berhasil melakukan verifikasi. Dari total nilai Rp 500 juta itu, dana fiktif yang ditemukan mencapai Rp 150 juta.
Puncak intimidasi
Boleh jadi, lantaran itulah guru-guru SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi menjadi kesal dengan sikap dan tindakan kritis para orangtua murid-muridnya. Sampai akhirnya, intimidasi dan ancaman psikologis yang dilancarkan terhadap siswa dan orangtua murid seolah menjadi cara membalas kekritisan mereka.
Pada Senin (31/5/2010), Aria Bismark Adhe, seorang siswa kelas VI sekolah tersebut tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS). Adhe diminta keluar dari ruang ujian oleh pihak sekolah setelah sebelumnya diberikan sebuah surat pemberitahuan untuk diberikan kepada orangtuanya, Drs Handaru Widjatmoko, yang dianggap oleh sekolah sebagai pelapor dugaan korupsi di sekolah tersebut.