Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Haji Kecil Mengejar Mimpi

Kompas.com - 24/03/2016, 14:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

“Kalau kau punya mimpi, Tuhan membuatkan jalan yang menghubungkan engkau dengan mimpimu itu. Kau tak perlu payah-payah membuat jalannya. Kau hanya perlu mencarinya dengan teliti. Boleh jadi ia tersembunyi di balik semak-semak berduri. Kau hanya perlu menyibakkannya. Atau ia berupa jalan mendaki, kau hanya perlu bersabar dalam mendakinya. “

Aku sangat menyukai panggung kecil itu. Jangan bayangkan sebuah pentas. Tak ada apa-apa di situ. Hanya aku. Duduk di tengah kerumunan orang, di sebuah kenduri.

Orang-orang memandangku dengan kagum. Karena sebelumnya mereka sudah pernah melihat aku melakukannya. Jadi mereka sudah kagum sebelum aku mulai lagi.

Ku tarik napasku pelan. Tak ada gugup, karena aku sudah terbiasa. Lalu aku mulai. "Allahuma inna nas’aluka salamatan fi din…………..”

Ya aku mulai membaca doa. Itulah pertunjukanku di panggung kecil itu. Mungkin kau akan heran, apa pula istimewanya orang membaca doa sampai perlu dikagumi. Nah, itulah kau. Kau tak tahu siapa aku. Aku anak berusia empat tahun. Sudah pandai baca doa. Di kampungku, orang tua pun tak banyak yang pandai baca doa.

Aku sebenarnya tak pernah belajar baca doa. Emak lah yang sebenarnya sedang belajar, baca doa selamat. Ia belajar dari sebuah buku berhuruf Arab-Melayu, dibimbing oleh Ayah. Nah, Ayahku imam mesjid. Dia banyak hafal doa-doa. Doa selamat, doa arwah, bahkan doa yang panjang macam doa rasul pun dia hafal.

Emak belajar, mebaca doa itu keras-keras. Tiap lepas magrib dia membaca doa itu, mencoba menghafalnya. Ayah duduk di samping, membetulkan bacaan Emak kalau dia keliru. Tapi tak selalu begitu. Kadang Ayah mengajar Emak sambil berbaring di tempat tidur, melepas lelah.

Ayah sering begitu. Kalau mengajari kami mengaji dia juga tak selalu duduk di samping kami. Dari atas tempat tidur dia mendengar, lalu membetulkan kalau bacaan kami keliru. Sepertinya Ayah hafal apa yang kami baca.

Begitulah, hari-hari aku mendengar Emak belajar membaca doa. Tanpa aku sadari aku yang lebih dahulu hafal. Emak terkesima.

Kalau ada kenduri aku selalu ikut Ayah. Ayah selalu diundang, karena dia imam mesjid. Tak ada dia mungkin tak ada kenduri. Karena dia lah yang membaca doa. Ada orang lain, satu dua orang yang juga bisa. Tapi orang kampung biasanya lebih suka meminta Ayah membaca doa.

Di suatu kenduri, Emak juga ikut. Ayah duduk di ruang depan, bersama banyak hadirin yang laki-laki. Para perempuan biasanya duduk di ruang dalam. Kadang sambil membantu menyiapkan hidangan yang hendak dikirim ke ruang depan. Aku duduk di dekat Emak. Tak kuduga akan Emak minta sesuatu padaku.

“Bacalah doa.” pintanya.

Terkejut aku. “Apa? Doa apa?”

"Doa. Doa selamat yang sudah kau hafal itu.“

Aku pikir Emak memintaku menggantikan Ayah. Dan itu tak patut. Tak patut anak kecil membaca doa. Tapi Emak menatap mataku, dan berkata sekali lagi, “Bacalah doa tu.”

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com