Aku patuh. Lalu aku baca doa selamat itu.
“Allahumma nas’aluka salamatan fi diin……….”
Aku baca dengan mantap. Emak tersenyum. Aku suka melihat senyum itu. Aku lanjutkan bacaan dengan suara lebih keras. Orang-orang di sekitarku mulai sadar bahwa aku sedang membaca doa. Mereka yang tadinya larut dalam berbagai perbincangan, sontak diam, mendengarkan bacaanku. Aku makin semangat. Aku baca doa yang panjang itu sampai selesai.
"Aduh pintarnya……..“ seorang ibu di dekatku memuji.
"Iya, pintar benar. Awak yang tua ini pun tak pandai berdoa.”
“Betul. Kalah kita oleh budak kecil ni.”
Sekarang aku tahu mengapa Emak menyuruhku baca doa.
Begitulah berulang-ulang. Di setiap kenduri, Emak menyuruhku baca doa. Dan orang-orang memuji. Tak hanya memuji. Orang-orang memberiku uang. Sepuluh dua puluh rupiah. Bahkan ada yang memberi seratus. Senang betul aku.
Selanjutnya Emak tak perlu lagi menyuruhku. Orang-orang biasanya langsung memintaku. Aku turuti permintaan mereka. Aku suka duduk di tengah panggung itu, dengan orang-orang duduk di sekeliling, mendengar aku membaca doa.
Ayah dan Emak senang betul kalau aku diminta membaca doa. Dan Emak tahu, di kenduri orang akan mencari aku. Meminta aku duduk di tengah-tengah, lalu aku membaca doa. Emak tak mau anaknya tampak lusuh. Dia belikan aku baju bagus. Juga peci bagus. Lengkaplah aku, duduk di panggung dengan peci yang bagus.
Ah, aku harus ceritakan ini. Emakku seorang pedagang. Ia berdagang baju, kain sarung, batik. Juga obat, bedak. Macam-macam lah. Semua yang tak dijual di toko Cina di kampung kami dijual Emak. Hampir tiap bulan Emak pergi ke kota untuk membeli barang dagangan. Lalu menjualnya di kampung.
Maka tak sulit bagi Emak untuk membelikan baju untukku. Teluk belanga kecil, warna putih. Juga kain sarung berukuran kecil. Lengkap dengan peci kecil. Hampir tak ada anak di kampung yang punya itu. Mereka semua memakai sarung orang dewasa, yang tentu saja terlalu besar untuk mereka. Hanya aku yang pakai sarung kecil, yang pas benar untukku.
Kelak Emak menambah sesuatu yang membuatku makin senang. Peci haji. Peci putih, yang biasanya hanya dipakai oleh pak haji. Ayah, meskipun imam mesjid tak memakai peci itu, karena belum haji. Tapi aku memakainya. Alangkah senangnya.
Sejak itu orang tak lagi memanggil namaku saat meminta aku membaca doa. Pak Haji Kecil, itulah panggilanku.
“Pak Haji Kecil, mari duduk di sini, baca doa untuk kami.”