Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Quo Vadis Gagasan "Full Day School"?

Kompas.com - 13/07/2017, 08:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Kurang dari sepekan, semua sekolah sudah harus memulai hari belajarnya. Di beberapa wilayah Jawa Barat bahkan baru dimulai Senin (17/7/2017) nanti.

Tanpa kegaduhan karena munculnya Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Tentang Hari Sekolah No 23 Tahun 2017, semua sekolah di semua jenjang dengan tenang menyiapkan jadwal pembelajaran selama setahun dengan mengacu ke Permendikbud yang mengatur alokasi setiap jam mata pelajaran yang diwajibkan UU Sisdiknas.

Ada SD hingga SMA di sebuah kabupaten yang menetapkan murid wajib masuk sekolah dari Senin hingga Sabtu. Ada juga provinsi yang meliburkan sekolah di tiap Sabtu dengan risiko jam pulang lebih sore.

Beberapa sekolah swasta di kota yang berbasis agama meliburkan hari Sabtu dan menyebut diri mereka Sekolah Seharian (Full Day School atau FDS). Rupanya, sekolah seperti ini menarik perhatian Presiden RI Joko Widodo yang gundah dengan karakter lembek kaum muda menghadapi globalisasi.

Presiden meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)  Muhadjir Efendi mengadopsi cara sekolah seperti itu agar bisa diterapkan di seluruh Nusantara. Harapannya, sekolah dapat menguatkan pendidikan karakter murid-muridnya agar cocok untuk menghadapi globalisasi.

Belajar dari dianulirnya gagasan menghapus ujian nasional (UN) oleh Presiden, Mendikbud sukses memperoleh persetujuan resmi dari atasannya dalam sebuah risalah rapat terbatas dan dengan cepat menyusun Peraturan Menteri.

Sebelum ditandatangani, sudah pasti Permen tersebut dikonsultasikan intensif ke kantor Presiden hingga terbitlah Permendikbud No 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah.

Semua kepentingan pemangku kepentingan diadopsi. Jika pelaku tak siap, tidak perlu dipaksakan karena bisa dilakukan secara bertahap.

Tibalah hari ketika Mendikbud dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipanggil Presiden dan berbuntut pengumuman penundaan Permendikbud Hari Sekolah oleh Ketum MUI dalam sebuah konferensi pers di Istana. Beberapa hari kemudian Sekretaris Kabinet mengulang pernyataan penundaan dan menyatakan akan diperkuat dengan Perpres.

Kebingungan sekolah

Pekan lalu Ketum MUI Maruf Amin mengulang permintaan menunda, tetapi Mendikbud berkeras bahwa Permendikbud terus berjalan. Muhammadiyah resmi mendukung dan NU resmi pula menolak dan insan pendidikan mulai bingung.

Mengantisipasi kebingungan semua jenjang sekolah di bawahnya, Pemprov Jatim "mbalelo" dengan menginstruksi bawahannya agar menunda pelaksanaan Permendikbud. Meski tidak wajar, edaran menganulir otoritas resmi Menteri itu ditandatangani Sekda, pejabat eselon-1 a.n. Gubernur itu diikuti oleh Pemprov Sumatera Utara.

Karena Permendikbud sudah resmi terbit, maka jika dibatalkan harus dengan perundangan yang lebih tinggi, misalnya Perpres atau Mendikbud sendiri menggantinya dengan versi revisi. Jika keduanya tak ada, secara formal Permendikbud tetap berlaku dan instruksi Pemprov tak bisa menganulir Permendikbud.

Kebingungan juga memunculkan persepsi publik bahwa tekanan politik dari warga NU kepada Presiden sangat masif dan persepsi lain yang lebih gawat, Muhammadiyah akan menghancurkan Madrasah Diniyah (Madin) dan NU harus melawan habis habisan. Saya menyebut persepsi adalah karena faktanya, kekhawatiran tersebut sudah diakomodasi dalam Permendikbud.

Kesalahan Pemerintah adalah, sesuatu yang sudah berjalan dengan alamiah dan mulus serta informal, tiba tiba diformalkan dan disampaikan ke media dan akhirnya sampai ke masyarakat dengan ambigu.

Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau